Penulis: Yonna Esty Kusuma
(Mahasiswa Program Magister Penyuluhan Pembangunan Universitas Sebelas Maret)
Realisasi Sustainable Development Goals (SDG’s) Desa turut ditopang oleh kiprah BUMDes sebagai mesin penggerak ekonomi desa. Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes mulai digencarkan sejak disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. BUMDes dalam UU tersebut secara umum digambarkan sebagai sebuah badan usaha yang keseluruhan atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan dan usaha lain untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa
BUMDes dikonsepkan agar mampu mengelola potensi desa setempat yang digadang-gadang dapat memberikan kontribusi sosial dan ekonomi kepada masyarakat sebagai perwujudan filosofi self help. Gemilangnya impian atas didirikannya BUMDes nampaknya masih menyisakan segelintir permasalahan. Cukup banyak BUMDes yang didirikan hanya sekadar formalitas dan akhirnya hanya menyisakan nama tanpa adanya kegiatan operasional unit usaha. Kemendes PDTT mencatat pada 2021 jumlah BUMDes se-Indonesia mencapai 57.273 unit, dengan rincian sebanyak 45.233 BUMDes aktif dan 12.040 BUMDes tidak aktif. Data tersebut cukup meresahkan karena sebanyak 21% BUMDes sudah tidak lagi aktif beroperasi.
Mangkraknya BUMDes
Penyebab utama mangkraknya BUMDes di Indonesia adalah terkait akses permodalan yang terbatas sehingga BUMDes tidak lagi mampu menjalankan diversifikasi usaha maupun mempertahankan eksistensi unit usaha yang sudah ada. Berdasarkan Permendes PDTT Nomor 4 Tahun 2015 pada Pasal 18 sebenarnya telah diungkapkan bahwa penyertaan modal BUMDes dapat terdiri atas hibah dan kerja sama usaha dari pihak swasta. Hal ini memungkinkan program perusahaan seperti Corporate Social Responsibility (CSR) bisa masuk ke BUMDes.
PP Nomor 11 Tahun 2021 dan Permendes PDTT Nomor 3 Tahun 2021 yang lahir sebagai tindak lanjut UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 menjadi angin segar bagi BUMDes yang semula didefinisikan sebagai badan usaha, kini telah diakui sebagai entitas yang berbadan hukum. Kehadiran regulasi tentang BUMDes berbadan hukum secara teoritis diharapkan dapat semakin memperkuat posisi BUMDes untuk lebih mudah dalam mendapatkan akses modal, kemitraan, dan kerjasama sehingga bisa meningkatkan performa BUMDes.
CSR Sebagai Solusi
Program CSR untuk BUMDes hendaknya dapat memandirikan BUMDes, tidak melulu berupa gerakan filantropis yang menempatkan BUMDes sebagai penerima bantuan semata. Diperkuat dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, utamanya pada Pasal 16 ayat 2 yang menyebutkan klausa ‘inovasi sosial’. Dalam Permen LHK tersebut digaungkan istilah inovasi sosial yang dimanifestasikan berupa pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan dengan harapan dapat menyelesaikan permasalahan atau kebutuhan sosial masyarakat.
CSR kemudian dijadikan sarana oleh perusahaan untuk mengejar Proper. Melalui Permen LHK Nomor 1 Tahun 2021 tersebut, perusahaan dituntut tidak hanya berurusan perihal dokumen pelestarian lingkungan seperti UKL-UPL dan Amdal, tetapi juga bersangkutan dengan inovasi sosial supaya perusahaan dapat meraih predikat Proper Emas.
Kembali ke momentum tadi, bagaimana inovasi sosial tersebut dapat membawa BUMDes menjadi village business center sebagai perwujudan kedaulatan ekonomi tingkat desa. Pendampingan dari hulu hingga hilir perlu dilakukan. Dimulai dengan menentukan starting point tentang potensi desa, permasalahan yang sedang dihadapi, dan harapan dari masyarakat. Kemudian penting pula untuk dilakukan pendampingan pengembangan unit usaha, penguatan kelembagaan, pendampingan usaha melalui pelatihan usaha, penguatan tata kelola BUMDes dengan fasilitasi maupun workshop, dan pendampingan diversifikasi usaha.
Beragam tantangan kemudian muncul. Seperti misalnya masih banyak pengurus BUMDes yang belum tahu cara mengusulkan dana CSR kepada perusahaan. Selain keterbatasan pengetahuan, BUMDes yang berada di luar daerah ring 1 atau bahkan BUMDes yang tidak berada di area perindustrian juga menjadi ketakutan tersendiri bagi pengurus BUMDes bahwasanya BUMDes-nya tidak bisa mendapatkan program CSR. Dalam hal ini tak perlu muluk-muluk, sebenarnya BUMDes dapat mengajukan dana CSR ke BUMD. Kemudian peran pemerintah desa dan pemerintah kabupaten dalam menjadi penjembatan BUMDes kepada program CSR penting untuk dikembangkan agar mempermudah BUMDes dalam mengakses program CSR perusahaan.
Sebagai penguatan posisi tawar BUMDes sebelum menjajal untuk mengajukan proposal bantuan CSR, hendaknya BUMDes dapat melakukan refleksi tentang kondisi internalnya. Kira-kira apa yang bisa ‘dijual’ dari BUMDes kepada perusahaan. Menggali potensi desa yang bisa menggoda perusahaan sehingga perusahaan mau meloloskan proposal yang diajukan BUMDes tersebut. Program yang dibawa oleh BUMDes harus bisa bermanfaat untuk orang banyak, khususnya seluruh warga desa.
Program CSR untuk BUMDes nampaknya juga berpotensi sedikit ‘meredam kekecewaan’ sebagian masyarakat yang tidak diterima sebagai pekerja di perusahaan terkait. Tenaga kerja yang tidak diterima oleh perusahaan bisa lari ke BUMDes yang sudah berkembang berkat program CSR dari perusahaan tersebut. Pada akhirnya, CSR tidak sekadar gerakan filantropi dan bagi-bagi. Air tidak hanya diguyurkan begitu saja, api di permukaan mungkin sudah mati tetapi akan masih menyisakan sekam yang membara. Hadirnya CSR untuk BUMDes diharapkan mampu menutup celah kosong yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah di dalam menumbuhkan kembali geliat BUMDes untuk menyokong perekonomian desa.