Ponggok Jadi “Desa Miliarder”, Inspirasinya Dari Mana?

ByRochmadtulloh

13 November 2022

NARASIDESA.COM – Desa Ponggok kini menjadi destinasi utama wisata umbul atau mata air di Kabupaten Klaten.  Pendapatan desa ini hingga miliaran hanya dari sektor wisata. Pengunjung bisa menikmati wisata alamnya hingga menyelam menggunakan snorkeling ke dasar sembari melihat ikan di dalam air. Pemandangan bawah air bisa diunggah melalui hasil foto ke berbagai media sosial.

Berbicara tentang Ponggok, tak lepas dari sosok yang menginspirasi perubahan. Dari sebuah desa dengan potensi umbul dan alam menjadi sebuah Desa Wisata. Dia adalah lurah Desa Ponggok, Junaedi Mulyono, S.H. yang mulai menjabat sejak tahun 2007. Kepada narasidesa.com, Mulyono mengatakan, dahulu biasa mencari segala informasi lewat media internet.

“Kalau saya dulu terinspirasi dengan desa yang ada di China itu ya. Provinsi Guang Dong itu ya. Mereka sekarang mau ke bandara saja masyarakatnya naiknya helikopter.  Mereka punya pabrik baja terbesar di dunia.  Punya tempat replika wisata di seluruh dunia, ada di situ, “  kata Mulyono

Mulyono mengatakan, inspirasi bukan berarti melihat yang ada di sana lalu bisa diterapkan buat di sini. Tetapi ia melihat bahwa sebuah desa bisa dibangun menjadi sedemikian rupa, tanpa meninggalkan jati diri tetap sebagai sebuah desa.

“Termasuk Daihatsu itu kan termasuk desa. Dari Jepang kan. Butuh literasi-literasi seperti itulah. Kaitannya tentang desa ya. Mungkin desa di Eropa juga termasuk desa tersendiri apa gitu ya. Ya dari konsep-konsep yang mereka bisa lakukan inilah saya mencoba untuk Ponggok ini,” terang Mulyono.

Semua dituangkan dalam visi misi yang diusungnya sebelum terpilih menjadi kades.

“Visi kami itu menjadikan Ponggok menjadi Desa Wisata, yang mandiri. Yang mampu mengolah potensi desa secara adil, berbudaya, maju, dan sadar lingkungan. Ini dulu yang menjadi mimpi kami. Gimana sih Ponggok yang orang dulunya nggak tau Ponggok nih. Tapi kan sekarang terbukti bahwa kalau di Ponggok ini sekarang per-RW ada tempat wisata, “ lanjut Mulyono.

Lima Aset Dasar Membangun Desa Ponggok

Secara geografis Kabupaten Klaten atau Desa Ponggok khususnya diapit oleh dua kota besar yaitu Yogyakarta dan Solo. Desa Ponggok berada di dataran rendah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Yang diberkahi dengan mata air atau umbul. Aset sumberdaya alam ini menjadi aset dasar yang pertama.

Aset yang kedua adalah sumber daya manusianya. Selanjutnya sumberdaya sosial. Ketiganya menurut Mulyono menjadi kunci dalam membangun suatu daerah atau desa.

“Kita mulai dari sumber daya alam dulu. Ternyata sumberdaya alam itu kadang kita, di Papua itu kan tau itu emas. Tapi kadang orang Indonesia belum bisa mengolah emas itu. Nikel sama, apapun. Kita itu tau potensi tetapi belum bisa mengelola. Maka dari itulah sebenarnya emas ada di desa. Air ada di desa. Laut ada di desa. Semua ada di desa. Jadi memulai dari desa itu ya harus punya mimpi gimana kita bisa mengelola aset sumberdaya alam itu sendiri, “ kata Mulyono.

Mulyono memulai awal dari pemetaan data. Saat awal menjabat, perangkat desa yang dimiliki Ponggok masih kurang tahu dari sebuah data yang baik bisa digunakan untuk apa, bisa mengubah desa menjadi kaya atau tidak masih menyisakan banyak pertanyaan.

Selanjutnya Mulyono mulai mengajak kolaborasi dengan mahasiswa dari UGM Yogya (Universitas Gadjah Mada) untuk membantu. Ia lantas mengirim surat ke civitas akademika itu untuk melakukan mapping data. Pihak kampus merespon dengan menyelenggarakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) tematik ke Desa Ponggok.

“lha awal memang kita nggak ngomongin apa-apa dulu. Memang bagaimana temen-temen itu tidak bikin program, tapi supaya programnya itu perbaikan database di desa. Biar kita tahu potensi desa itu ada di mana, masalah apa saja, yang kena masalah rentenir itu berapa, pengangguran berapa. Itu kan saya harus peroleh semua,” lanjut Mulyono.

Menurut Mulyono, awal membangun sebuah desa atau wilayah itu bisa diibaratkan bikin skripsi. Mulainya dari pemetaan data. Barulah membuat sebuah perencanaan serta strategi-strategi yang ditindaklanjuti dengan sebuah tindakan nyata.

Sebuah komitmen yang kuat terhadap visi dan misi hanya berakhir menjadi tataran teori, apabila tanpa implementasi di lapangan. Inilah yang diakuinya menjadi tantangan yang sebenarnya. Setiap 3 bulan setelah menjabat, menurutnya seorang kepala desa, bupati atau gubernur berkewajiban membuat sebuah RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Visi misi sebelum menjabat ia tuangkan semua dalam RPJM ini.

Dari RPJM sebuah komitmen regulasi diatur semua di dalamnya untuk enam tahun ke depannya. Dananya berapa sudah tertuang semua. Tinggal menjaga supaya yang menjadi tujuan akhir bisa terlaksana.

Dari pengalamannya sendiri Mulyono mengakui kelemahan desa-desa saat ini kebanyakan dengan ketersediaan profil dan monografi yang kadang kurang kuat atau mewakili kondisi sesungguhnya. Padahal dari profil dan monografi bisa diarahkan desanya mau dibawa ke arah pengembangan yang seperti apa. Apakah desa industri, budaya atau wisata misalnya.

Mulyono mengingatkan, bahwa untuk membangun sebuah desa jangan terlalu mengandalkan adanya dana desa yang disediakan. Asalkan asset-aset kunci yang dimiliki tadi bisa berkontribusi dalam program-program desa.

“Kalau Bung Karno itu kan mengatakan, saya butuh sepuluh pemuda untuk goncang dunia. Kita sama. Di desa sama. Butuh sepuluh pemuda itu tapi ya ahli arsitek, ahli teknis, ahli pertanian. Merencanakan pertanian dari hulu sampai hilir itu seperti apa. Mungkin sampai produksi, sampai marketnya. Perikanan mau kemana, pariwisata mau kemana ini kan tinggal narik saja to sebenarnya, “ kata Mulyono.

Saat implementasi, Mulyono mengaku terbentur dengan masalah sumberdaya manusia. Kemudian ia membikin program satu rumah satu mahasiswa. Ia mengupayakan adanya bantuan beasiswa bagi mahasiswa yang nantinya akan membantunya kerja di Desa Ponggok. Termasuk dalam upayanya menanggulangi masalah kesehatan warga desa misalnya. Dahulu belum ada Jamkesmas yang bisa menjangkau langsung warga desa karena masalah pendataan, apalagi belum ada jamkesdes. Intinya, dibutuhkan sebuah upaya memetakan sekaligus mengatasi masalah menjadi sebuah potensi.

“Bagaimana kami itu memetakan dari masalah menjadi sebuah potensi. Ini dulu pengelolaannya dari pembuangan sampah. Sekarang menjadi tempat wisata. Itu yang kemarin waduk yang sebelah itu. Sama, itu dulu tempat pembuangan sampah,” kata Mulyono.

Sementara aset sumberdaya sosial sudah dimiliki oleh orang Indonesia sejak jaman nenek moyang. Kata Mulyono, di desa itu sejak dahulu kalau ada orang sakit atau orang meninggal, termasuk orang membangun rumah, itu adalah aset sosial yang sangat besar. Bentuk gotong royong dalam bentuk tenaga dan dana ini sebuah aset sosial yang bisa dioptimalkan lebih lanjut dalam sebuah tujuan bersama. Meskipun dia akui sekarang semuanya agak terkikis karena masyarakat mulai biasa termanjakan oleh adanya berbagai subsidi dari pemerintah.

Lalu yang keempat adalah aset berupa ketersediaan infrastruktur. Sejak dahulu, setiap desa sesungguhnya sudah punya infrastruktur fisik baik berupa jalan, jembatan. Semua itu memiliki nilai ekonomi, sosial dan peningkatan produksi. Tinggal bagaimana sebuah desa bisa mengoptimalkannya. Karena kalau membangun sejak awal, bisa dibayangkan betapa besarnya biaya yang harus ditanggung.

“Tapi kadang kita sudah ada jalan tapi kita tidak mau ngerawat jalan, ada jembatan tapi nggak mau ngerawat jembatan. Ini yang jadi masalah kan? Yang terakhir aset finansial.  Membangun itu finansialnya yang selalu uangnya berapa RAB (Rencana Anggaran Biaya)-nya berapa gitu. Sebenarnya kalau kita mau ini dijadikan satu, jadi kekuatan besar. Lha inilah yang kita gunakan kemarin untuk mulai mengawali membangun Ponggok. Semua lima aset ini kita optimalkan semua, “ pungkas Mulyono.

lurah Desa Ponggok, Junaedi Mulyono, S.H.
Foto : Rochmadtulloh/Narasidesa.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *