Kendal | Narasidesa.com – Seorang pemuda asal Desa Karangmulyo, Khubeb Izzudin (35) mencoba merintis budidaya ikan Nila dengan sistem bioflok. Pembuatan awal budidaya sudah dimulainya sejak November 2021, dengan diawali dengan membersihkan kebun yang terletak di belakang rumah terlebih dahulu sampai akhirnya bisa dipakai untuk penaburan benih. “Sejak November tahun lalu saya mulai membuat usaha budidaya Nila ini dengan sistem yang saya condong dengan istilah sistem instensif ini,” ungkapnya saat ditemui Narasidesa.com pada hari Sabtu (7/5/2022) di Desa Karangmulyo, Pegandon, Kendal, Jawa Tengah.
Pengalaman dari usaha tambak udang yang sempat ia tekuni di daerah Comal, Pemalang, Jawa Tengah, ia terapkan di usaha budidaya ikan nilanya saat ini. “Sementara sekarang ada lima kolam buatan semi permanen dengan diameter 4 meter. Rangka yang digunakan dari besi kemudian bagian dalamnya dilapisi geomembran,” jelasnya.
Lebih lanjut diterangkannya, untuk satu kolam buatan diisi 2.000 bibit ikan Nila. Masa tabur panen sampai masa panen antara empat sampai dengan lima bulan. “Ukuran bibit Nila bervariasi, ada yang 7-9 cm ada juga yang ukurannya 9-12 cm,” ungkapnya.
“Soal biaya, yang paling banyak adalah untuk aset pertama karena semuanya dari mulai merancang kolam, pengelasan rangka besi, pemasangan sampai finishing saya kerjakan sendiri dibantu saudara. Sebenarnya dari segi biaya pembuatan memang lebih dapat ditekan jika dibanding kita beli semua. Selain itu, yang banyak memakan biaya adalah pakan, dalam hal pakan ini saya menggunakan pelet apung ditambah multivitamin,” ujarnya.
Saat diatanya soal kendala, pemuda yang akrab dipanggil Udin tersebut menjelaskan bahwa yang kerap dihadapi adalah soal adaptasi dan peralihan cuaca, serta kondisi air yang tidak stabil.
“Ya itulah kendalanya, untuk rencana ke depan sih kalau bisa akan menambah kolam lagi, bisa juga dengan menyewa lahan di sekitar Desa Karangmulyo sini.
Saya berharap ada program pendampingan dari pemerintah sehingga dalam prakteknya juga bisa mendapat tambahan ilmu pengetahuan tentang usaha budidaya Nila ini,” ujarnya.
Menurutnya hal yang dibutuhkan lainnya adalah subsidi pakan, karena harga pakan yang naik terus. “Saya juga ingin bertanya, apakah betul ada program ekspor Nila yang akan diwujudkan oleh pemerintah, makanya dalam hal ini saya ikut juga mempersiapkan diri,” pungkasnya.
Dalam usahanya yang menempati luas lahan kurang lebih 1.500 meter persegi ini, Udin dibantu oleh dua orang saudaranya, dan ia pun sangat terbuka jika ada warga di desanya atau dari desa lain yang ingin dibantu dalam hal pengetahuan dan pengalaman berusaha di bidang dan sistem yang sama seperti dirinya.
Seperti diketahui, budidaya ikan Nila menggunakan sistem bioflok belum begitu banyak dilakukan oleh masyarakat. Diharapkan dengan budidaya sistem bioflok penggunaan pakan akan lebih efisien, produktifitas pun tinggi, selain itu juga hemat air serta ramah lingkungan. Ikan Nila biasa dipilih untuk dibudidayakan karena ikan jenis ini mempunyai daya toleransi yang cukup tinggi terhadap perubahan lingkungan dan merupakan ikan pemakan fitoplankton, zooplankton dan detritus.
Dari berbagai sumber dijelaskan bahwa Bioflok sendiri berasal dari kata bios yang artinya “kehidupan” dan flok yang bermakna “gumpalan”. Jadi bioflok adalah kumpulan dari berbagai organisme seperti bakteri, jamur, algae, protozoa, cacing dan sejenisnya, yang tergabung dalam gumpalan (floc). Bioflok ini dapat terbentuk jika ada empat komponen di dalamnya yakni sumber karbon, bahan organik dari sisa pakan dan kotoran ikan, bakteri pengurai dan ketersediaan oksigen. Terbentuknya bioflok tersebut terjadi melalui pengadukan bahan organik oleh sistem aerasi supaya terlarut dalam kolom air untuk merangsang perkembangan bakteri heterotrof aerobik (kondisi cukup oksigen) menempel pada partikel organik, menguraikan bahan organik (mengambil C-organik), selanjutnya menyerap mineral seperti ammonia, fosfat dan nutrient lain, yang prosesnya juga berlangsung di dalam air. Dengan proses ini, bakteri yang menguntungkan akan berkembang biak secara baik. Bakteri-bakteri ini kemudian akan membentuk konsorsium dan menyebabkan terjadinya pembentukan flok. Hasilnya tentunya kualitas air akan menjadi lebih baik dan bahan organik dapat didaur ulang menjadi flok yang tentu saja dapat dimakan oleh ikan yang dibudidayakan. (nch)