YOGYAKARTA-NARASIDESA.COM |
Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam penyelesaian konflik di Papua melakukan dua pendekatan yakni pembangunan insani dan transformasi konflik. Pembangunan insani lebih melihat adanya ketidakamanan di Papua bukan muncul dari ancaman militer atau konflik horizontal melainkan lebih pada ketidakamanan ketika masyarakat Papua tidak memiliki akses pendidikan, kesehatan dan penghasilan atau pekerjaan.
Hal ini dikatakan Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr. Gabriel Lele kepada wartawan di ruang kerjanya, Kampus Fisipol UGM Yogyakarta, Selasa lalu (14/12/2021).
“Pendekatan kedua adalah transformasi konflik. Jadi konflik yang di Papua yang dominan konflik separatis, tidak semata-mata didekati dengan upaya penyelesaian atau resolusi. Tetapi konflik itu justru di transformasi dengan cara melalui transformasi struktural di mana struktur politik atau struktur pemerintahan harus membuka ruang bagi semuanya terutama bagi mereka yang berseberangan. Ini yang pernah kami lakukan di Aceh. GAM daripada bertarung di hutan, ayo bertarung di DPR,” paparnya.
Lebih dari itu ia menilai bahwa capaian pembangunan (terutama pembangunan fisik) di Papua era pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah sangat luar biasa. Seperti infrastruktur jalan Trans Papua, bandara-bandara diperbanyak, penambahan pelabuhan skala besar dan kecil, hingga yang terakhir penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 yang memberikan dampak luar biasa bagi masyarakat di Papua.
Namun di saat yang bersamaan para akademisi masih merasakan kegelisahan, kenapa pembangunan yang begitu masif di Papua yang telah diberikan oleh pemerintah, tetapi resistensi/perlawanan terhadap pemerintah dan NKRI masih ada. Ini ditandai dengan masih adanya konflik oleh kelompok kekerasan bersenjata di Papua yang sampai saat ini masih beroperasi.
Gabriel mengakui masih ada PR yang harus diselesaikan oleh pemerintah, utamanya terkait dengan bagaimana penyelesaian-penyelesaian Papua itu harus menyasar pada pusat atau jantung penyebab konflik.
Ditambahkannya, intervensi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini belum sepenuhnya bisa menyelesaikan persoalan atau kebutuhan Papua. Dan persoalan yang paling mendasar sebenarnya adalah terkait dengan penyelesaian konflik. Seharusnya, pembangunan itu dijadikan bagian penyelesaian secara politik.
“Presiden Jokowi sendiri sangat sering mengunjungi Papua dan merupakan satu-satunya Presiden RI yang paling sering berkunjung ke Papua. Kalaupun ada catatan kritis bagi Jokowi itu adalah belum sempatnya Jokowi untuk mengajak duduk bersama semua komponen Papua terutama mereka yang berseberangan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Gusdur (Presiden Abdurrahman Wahid). Dengan kata lain, Papua merindukan dialog dari hati ke hati di mana pemimpin mau duduk dengan warga di sana,” pungkasnya. (nch)