
Menyongsong peringatan 100 tahun presiden RI pertama, HM. Soeharto, sejumlah pelaku seni dan perupa di Kota Yogyakarta menggelar aksi moral melukis sosok Pak Harto, Minggu (30/05/2021).
Aksi tersebut dilakukan dengan cara unik, yakni laku jalan kaki mubeng beteng Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, menuju Museum HM. Soeharto di Kemusuk, Kabupaten Bantul, dan Astana Giri Bangun, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Salah seorang seniman lukis yang tergabung dalam paguyuban Perupa Mataram Asri Yogyakarta, Ki Joko Wasis, merupakan salah satunya. Pria 61 tahun tersebut rela berjalan sekitar 15 km tanpa alas kaki untuk melukis sosok Presiden Soeharto di tengah teriknya sinar matahari.
“Saya ingin bersedekah. Sedekah karya. Dipersembahkan untuk memperingati 100 tahun Pak Harto. Ini murni ibadah. Sebuah niatan hati. Semoga jadi pahala bagi siapa saja yang tersentuh,” ungkapnya.

Warga kampung Kadipaten Kidul, Kecamatan Kraton itu mengaku melukis sosok Pak Harto dengan ciri khasnya berupa peci dan senyum di wajahnya. Lukisan karyanya juga menggambarkan Pak Harto sedang membawa sejumlah buku yang diibaratkan sebagai karya-karyanya semasa hidup.
“Kalau kita lihat senyumnya, kayanya hidupnya gak ada masalah. Seperti matahari yang selalu senyum walau kadang dicemberuti daun-daun. Itu merupakan bagian dari karakternya, karena senyum itu sedekah,” ungkapnya.
Menurut Ki Joko Wasis, melalui senyum khasnya, Pak Harto semasa hidupnya selalu mencoba segala sesuatu untuk kepentingan rakyat, yang saat itu juga merasa senang dengan kepemimpinan beliau.
“Saya seneng aja sama dia (sosok Pak Harto). Setiap ada Kelompencapir saya ikut. Saat beliau tampil di TV juga selalu lihat. Ya karena senyumnya. Walaupun saya sendiri belum pernah ketemu. Kalau mimpi pernah, saya mimpi tidur satu tikar sama beliau,” katanya dengan penuh semangat.
Lebih lanjut Ki Joko Wasis mengakui memang kehidupan Pak Harto tak bisa dilepaskan dari kontroversi. Namun menurutnya hal itu merupakan persoalan lain. Baginya yang terpenting adalah bagaimana mencari dan mengangkat kebaikan yang pernah beliau lakukan selama hidupnya.

“Dunia ini kan selalu mencari pembenaran. Bagi saya kalau salah ya dihukum. Kalau benar ya diangkat. Karena kalau kita hanya bicara keburukan-keburukan saja nanti yang muncul hanya energi negatif. Bisa ngaco. Yang bisa mengadili itu kan orang pinter. Saya tidak bisa bilang salah apa benar. Apalagi itu kan sudah ranah Tuhan. Yang jelas saya senang ketika beliau memimpin,” ungkapnya.
Pelukis Ki Joko Wasis sendiri bukan kali ini saja melakukan aksi nyleneh melukis sambil berjalan kaki. Sejak tahun 2001 silam ia sudah terbiasa melakukannya. Diantaranya melukis sosok maestro Affandi sambil berjalan kaki di sepanjang Jalan Gejayan Yogyakarta. Juga melukis sambil berjalan kaki dari Jogja menuju Jakarta untuk kemudian menyedekahkan karya lukisannya untuk istana negara.
“Melukis samabil jalan kaki bagi saya itu sebuah terapi. Selain itu jalan itu juga sebuah budaya. Nabi saja saat hijrah juga jalan kaki, tidak pakai onta. Orang jaman dulu seperti Jendral Sudirman juga terbiasa jalan kaki. Tantangannya paling kanvas goyang-goyang, tapi justru disitu ada keasikan tersendiri. Kalau persiapan saya lebih ke mental. Kalau capek ya istirahat, tidurnya sambil jalan walaupun agak ngantuk-ngantuk,” tuturnya sambil terkekeh.
“Untuk para seniman yang lain mari kita tetap berkarya, jangan berhenti bekerja, lebih baik kita mati di medan pertempuran daripada mati di tempat tidur”, pungkasnya. (nch)