Sleman | Narasidesa.com – Menjelang bulan suci Ramadhan, takmir Kagungan Dalem Masjid Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman, menggelar acara Sadranan. Sesepuh Ketakmiran masjid Sambisari, Hadiyat, merasa sangat bersyukur acara tradisi yang diselenggarakan dengan protokol kesehatan ketat ini dapat diselenggarakan dengan lancar pada hari Kamis (31/03/2022). Acara yang sudah turun-temurun ini dimeriahkan dengan penampilan tabuhan sholawat yang dibawakan Jama’ah Dzikir Sadranan Sambisari. Menurutnya, semangat pelestarian nilai-nilai budaya tersebut mengakomodasi keingininan warga setempat dan disambut baik oleh Pemerintah Kabupaten Sleman, Kapanewon Kalasan dan Kelurahan Purwamartani.
“Acara ini sudah ratusan tahun dan merupakan kehendak atau keinginan masyarakat sendiri,” ujarnya saat ditemui usai acara berlangsung. Menurutnya, acara nyadran ini untuk mendo’akan para leluhur, para tokoh masyarakat dan keluarga yang sudah mendahului. Tradisi ini diadakan setahun sekali sebelum masuk Bulan Ramadhan, pada hari Senin atau Kamis. Selain itu juga untuk mendo’akan keselamatan bangsa Indonesia pada umumnya.
“Adapun anggapan acara seperti ini sudah tidak relevan, kami berpendapat bahwa acara Sadranan ini merupakan warisan leluhur yang Islami, yang dilestarikan sampai saat ini. Terlebih di kompleks masjid milik Kraton Jogja ini juga dimakamkan salah satu keturunan Kyai Nur Iman yaitu Kyai Muhammad Salim yang dimakamkan di belakang Masjid Sambisari. Karena itu, budaya ini jangan sampai hilang ditelan arus globalisasi.” jelasnya.
Sementara itu Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo, yang juga ikut hadir, menyambut baik acara Nyadran atau Sadranan yang merupakan warisan budaya tersebut. “Ini adalah warisan budaya yang sangat baik untuk kita menghormati leluhur kita sehingga sudah semestinya kita lestarikan. Acara ini juga dapat menjadi ajang silaturahmi antar warga. Kita selalu mengingat jasa-jasa para orang tua, para leluhur dan meneladinya,” ujarnya saat memberikan sambutan.
Terkait kegiatan selama bulan Ramadhan, Kustini mengatakan bahwa masyarakat agar tetap menerapkan protokol kesehatan. “Semoga Ramadhan dapat menambah keimanan kita,” ungkapnya.
Ikut hadir dalam kesempatan ini, GBPH Yudhaningrat dan GBPH Prabukusumo. Menurut GBPH Prabukusumo, tradisi sadranan merupakan adat yang tidak terlepas dari tradisi Kraton Jogja, karena Yogyakarta sendiri merupakan kerajaan Islam. “Kenapa agama harus ditata, karena agama itu ciptaan Tuhan. Setiap agama apapun diajarkan toleransi dan kebersamaan. Termasuk toleransi dan menghargai adat atau tradisi yang sudah berlangsung sejak lama seperti tradisi Sadranan,” ungkapnya seraya berharap agar tradisi nyadran ini tetap lestari.
Ditambahkannya, pemaknaan nyadran selalu dilakukan khususnya orang Jawa yang ditunggu-tunggu menjelang puasa khususnya di DIY dan sekitarnya. Tradisi ini biasanya diikuti oleh para tokoh masyarakat, warga sekitar sehingga baik untuk silaturahmi dan berziarah mendo’akan para leluhur. “Semoga dengan tradisi ini kita dapat melakukan ibadah puasa dengan tenang,” pungkasnya.
Acara Sadranan ini diakhiri dengan pembagian hasil bumi yang dibentuk gunungan untuk warga yang hadir. (nch)