Oleh: Tri Budi Utama ST MT dan Prof. Sudjarwadi
Alam telah menyediakan sumber bagi manusia untuk panen hujan dan energi matahari. Alhamdulillah, itulah keagungan Tuhan buat kita ?
Situtena mengikuti perjalanan Tri Budi Utama atau Tribud dalam kampanye teknologi terapan memanen hujan dan energi matahari.
Kebutuhan pokok manusia khususnya minum dan energi telah tersedia sumbernya secara melimpah di alam. Manusia dapat mengolah dan memanfaatkannya. Ketika kita kembali ke alam (back to nature), kita telah berinvestasi ke waktu yang akan datang, berlaku hemat dalam pemanfaatan sumber daya alam. Pada urusan panen hujan dapat dirancang hasil panen air lebih bersih dan sehat karena minim pencemaran.
Berlaku hemat tersebut merupakan tindakan pemeliharaan lingkungan yang lebih baik. Hal lebih penting ikutannya adalah akan tercapai kemandirian dalam penyediaan, operasi dan pemeliharaan konsumsi air minum dan energi. Oleh karena itu, idiom back to nature for the future, kembali ke alam untuk waktu yang akan datang sangat baik ditindaklanjuti di manapun tidak terkecuali di desa-desa.
Hujan, angin, dan matahari adalah karunia Sang Pencipta yang tak pernah habis di negeri tropis, sumber yang berkelanjutan, namun sering dilupakan bahkan disia-siakan. Ketiga sumber daya tersebut tersedia sangat melimpah, di manapun wilayah di Indonesia tidak ada yang tidak terjangkau oleh hujan, angin, dan matahari. Hujan jika dikelola dengan baik akan menjadi sumber air minum, air bersih, bahkan untuk pertanian. Angin dan matahari dapat dikonversi menjadi energi listrik yang murah dan ramah lingkungan.
Di tengah masyarakat telah terjadi perubahan pilihan konsumsi air minum berdasarkan sumber airnya. Konsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) semakin besar proporsinya. Pada tahun 2005 pengguna AMDK baru 4,1% sedangkan pengguna sumur terlindung (ST) untuk sumber air minum 35,6%. Tahun 2009 AMDK 13,1% dan ST 28,3%, tahun 2013 AMDK 27,7% sementara ST 22,6%, pada tahun 2017 pengguna AMDK 42,8% sedangkan pengguna ST hanya 16,8%. Pada tahun 2020 ini pengguna AMDK sudah melampaui 50% dari total konsumsi air minum. Hal ini terjadi lantaran kurang percayanya masyarakat akan kualitas sumber air yang ada, seperti misalnya sumur, mata air, dan air PDAM. Kenyataan ini tentu menjadi keprihatinan tersendiri di tengah semakin mahalnya biaya hidup.
Hujan merupakan sumber air minum yang sangat baik. Indonesia dikaruniai curah hujan sangat variatif dari 600 mm/thn sampai 4500 mm/thn. Jumlah tersebut cukup untuk konsumsi air minum rumah tangga. Apabila dipanen dengan benar, hujan akan menghasilkan air dengan kualitas sangat baik, jauh lebih baik dari AMDK.
Saat ini telah banyak dikembangkan teknologi sederhana alat pemanen hujan. Dengan teknologi sederhana tersebut dapat dihasilkan air yang sangat jernih, dengan TDS (total dissolved solid) kurang dari 10 ppm. AMDK pada umumnya mempunyai TDS lebih besar dari 10 ppm, bahkan beberapa kali lipat. Air murni mempunyai nilai TDS 0 ppm.
Pemanenan air hujan untuk air minum bisa dilakukan individual per rumah tangga, atau bisa juga komunal untuk beberapa rumah tangga yang berdekatan. Instalasinya cukup sederhana dan murah, namun dapat menghasilkan air minum dengan kualitas sangat baik. Dengan tambahan proses elektrolisa sederhana, air hujan ini bisa dibuat menjadi air alkali dengan PH 7,5 – 9. Dengan demikian akan didapatkan air minum sehat yang murah, bahkan dapat dikatakan gratis.
Keuntungan lain saat diterapkan panen hujan untuk air minum adalah dapat menambah imbuhan (recharge) air tanah, mengurangi debit banjir di daerah hilirnya, dan tidak mencemari lingkungan dengan limbah plastik AMDK.
Pada sisi lain kebutuhan energi listrik tidak dapat dinafikan, makin maju suatu wilayah, desa atau kota, semakin besar kebutuhannya. Dari sekedar untuk penerangan rumah dan lingkungannya, juga perlu listrik untuk akses informasi, sampai penunjang produktivitas.
Sampai saat ini, tahun 2020 hampir 10.000 desa di Indonesia belum bisa menikmati jaringan listrik PLN. Kendala dalam penyediaan listrik sentralisasi antara lain hambatan geografis, diantaranya desa terpencil, pulau-pulau kecil; letak rumah di desa yang tersebar saling berjauhan mengakibatkan mahalnya biaya jaringan; dan ditemui beberapa kenyataan kelangkaan ketersediaan sumber energi setempat.
Kenyataan adanya kelangkaan sumber energi setempat dan mahalnya jaringan transmisi, saat ini telah banyak dikembangkan teknologi pemanen energi yang lebih murah dibanding waktu-waktu sebelumnya. Pemanfaatan EBT (energi baru dan terbarukan) bisa dilakukan secara individual maupun komunal dalam kelompok kecil, untuk mengatasi mahalnya pembangunan jaringan.
Energi baru adalah energi yang berasal dari bahan bakar fosil atau nonfosil setelah diproses kimia atau proses fisik akan dihasilkan bahan bakar baru dengan sifat baru, yang lebih ramah lingkungan sekaligus mempunyai nilai kalor lebih tinggi. Contoh : sintesis gas, hidrogen, batubara cair (liquified coal), coal bed methane.
Energi terbarukan, yaitu energi yang ketersediaannya selalu kontinyu, contoh: biomassa, angin, air, matahari, laut (gelombang air laut). Energi ini tidak menimbulkan polusi, namun pemanfaatannya penuh tantangan, meskipun teknologinya tidak terlalu rumit. Oleh karena itu, teknologi tersebut bisa diterapkan di desa-desa seluruh Indonesia.
Pada skala industri, potensi EBT bisa spesifik untuk setiap wilayah. Misal energi air (PLTA) sangat berlimpah di daerah Sumatra, Jawa Barat, dan Papua, potensi angin (PLTB) di Sulawesi Selatan cukup bagus, sedangkan potensi sinar matahari (PLTS) sangat bagus di wilayah NTB, NTT.
Untuk skala rumah tangga tentu EBT bisa dikembangkan dalam unit-unit kecil sesuai potensi desa setempat, misalnya panel surya sudah dijual murah di pasaran, demikian juga generator pembangkit listrik tenaga air (mikro hidro). Paket teknologi siap pakai ini bisa diterapkan dengan mudah di desa-desa di seluruh pelosok tanah air. Sumber daya alam sudah ada demikian berlimpah, tinggal bagaimana kepiawaian sumber daya manusia (SDM) memanfaatkannya. Tentu anak-anak muda yang melek teknologi menjadi tumpuan harapan untuk pengembangan energi.
Uraian di atas itulah catatan sosialisasi pencerahan Tribud di sebuah desa yang diikuti Situtena. Wajah-wajah pemuda desa yang hadir tampak cerah memancarkan tekad memberi solusi terbaik untuk desanya.
Tribud kelihatan puas atas ceramah pencerahannya dan Situtena ikut bahagia. Sebelum pulang dari desa, penduduk setempat minta Tribud dan Situtena makan bersama .
Mereka berdua menyantap makan siang bersama penduduk desa, sesudahnya pulang ke kota dengan rasa lega dan penuh harapan atas proses kemajuan desa-desa.
(Tulisan ini juga ditulis oleh penulis di bernas)