Oleh : M. Nurcholish

Di era pemerintahan Jokowi, desa sudah lebih diperhatikan. Meminjam istilah Prof. Damarjati Supadjar (alm), filsuf UGM, bahwa ibukota itu bukanlah Jakarta, melainkan desa. Kenapa bisa begitu? Karena, sejatinya ibunya kota adalah desa. Mungkin hal ini terdengar tidak lazim, tapi jika kita memakai sudut pandang tentang asal-muasal sebuah kota, maka benarlah adanya bahwa sebuah kota berawal dari desa yang kemudian berkembang menjadi kota. Maka dengan ini, jelaslah bahwa ibunya kota memang desa, jika dianalogikan dalam sebuah hubungan kekeluargaan.
UU No 06 Tahun 2014 tentang Desa atau lebih umum dikenal dengan UU Desa adalah gagasan baru yang coba ditawarkan oleh pemerintah. Gagasan ini lahir untuk mendorong desa agar semakin maju dan demokratis. Melalui dua azas yang ada di dalamnya, UU Desa mencoba menawarkan cara pandang baru dalam melaksanakan pembangunan. UU Desa diharapkan mampu menjadi jawaban dari berbagai problem ketimpangan sosial yang ada.
Akan tetapi, terlepas dari harapan dan cita-cita baik tersebut, UU Desa ini juga sempat menuai banyak pro dan kontra. Geliat UU Desa kemudian dapat dibaca melalui dua sisi yaitu sebagai peluang dan tantangan. UU Desa memungkinkan desa menciptakan desa menjadi semakin terbuka dan inklusif bagi semua lapisan yang ada dalam masyarakat. Melalui keterbukaan dan inklusifitas tersebut, akan tercipta kepercayaan dan partisipasi warga desa.
UU Desa sudah semestinya memberikan ruang bagi desa untuk mampu mengelola setiap potensi dan asset yang ada secara mandiri. Tidak hanya itu, UU Desa juga semestinya dapat mendorong lahirnya inklusifitas (keterbukaan) di kalangan warga desa”. Pembangunan bukan hanya yang sifatnya non fisik saja, melainkan diperlukan pembangunan yang sifatnya non fisik guna mewujudkan inklusifitas desa.
Pada akhirnya, UU Desa lahir untuk memberikan otoritas bagi desa dalam mengelola potensi dan assetnya. Optimsime tersebut pernah disampaikan pula oleh Dr. Arie Sujito, peneliti UGM. Dikatakannya bahwa desa dewasa ini harus dibayangkan sebagai subjek, bukan lagi objek dalam pembangunan. Semua pihak yang ada dalam desa harus digerakkan demi mencapai kemajuan desa. Ada banyak hal yang bisa dilakukan, misalnya dengan menghidupkan kembali fungsi BPD dalam melakukan kanalisasi aspirasi warga desa. Melalui UU Desa diharapkan demokrasi lokal dapat berjalan dengan optimal, terbentuk pemerintah desa yang responsif, lahirnya warga desa yang aktif, berjalannya fungsi representasi, dan terbentuknya ruang-ruang yang inklusif.
Jika hal ini terwujud, keraguan banyak pihak tentang kapasitas desa dalam mengelola dana desa, pengelolaan BUMDes dan pengembangan UMKM warga desa, dapat terjawab. Pihak-pihak di luar pemerintahan, misalnya lembaga-lembaga konsultan profesional bila perlu harus dilibatkan untuk optimalisasi pembinaan dan pengawasan yang sesuai dengan nilai dan semangat UU Desa. (nch)