Sleman, narasidesa.com – Pupuk organik menjadi solusi untuk menjaga kualitas tanah pada lahan pertanian. Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada kadar unsur haranya. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (sampah).
Jenis pupuk kompos yang juga merupakan salah satu pupuk organik sudah sejak lama mulai diproduksi di sejumlah tempat, termasuk di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pupuk kompos banyak dipilih terutama oleh para petani yang mengembangkan tanaman organik, karena dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah pertanian mereka.
Berlokasi di tanah kas desa seluas 2.500 m2 Pedukuhan Wonorejo, Desa Sariharjo, Ngaglik, Sleman, sejak tahun 2009 sudah mulai memproduksi pupuk organik jenis kompos. Di bawah naungan Kelompok Peternak “Ngudi Makmur”, salah satu unit usaha pupuk organiknya, yakni “Tani Subur” terus menggeliat memproduksi pupuk kompos hingga saat ini mempu menghasilkan 2 ton per hari.
Manajer Tani Subur, Mujihartono Tugimin (72), mengatakan bahwa kompos yang termasuk pupuk organik ini memang mempunyai banyak keunggulan dibanding pupuk kimia, antara lain dapat memperbaiki struktur tanah dan memperbaiki drainase dan pori – pori dalam tanah, sehingga sangat baik untuk pertanian. Di rumah produksinya, pupuk diolah dari kotoran hewan ternak kambing dan sapi yang letaknya tidak jauh dari kandang sapi. Untuk bahan baku utama juga didapatkan dari peternak setempat yang jumlahnya cenderung melimpah. Dari kandang yang dikelolal “Ngudi Makmur” saja, kotoran sapi yang diolah sebanyak 500-800 kg per hari, dari 80 ekor sapi.
“Kalau bahan baku langka, baru mencari ke kecamatan lain. Namun, sejauh ini kami belum pernah kehabisan bahan. Kami sudah memiliki jaringan di setiap kelurahan dan kecamatan untuk mendapatkan bahan baku. Kotoran kambing lebih mahal karena ngambilnya lebih jauh, ada yang dari Turi dan Kaligesing, Purworejo,” jelasnya penuh semangat saat ditemui narasidesa.com pada Jumat (02/07/2021).
Meski saat awal berdiri yakni pada pertengan 2009 pupuk hanya digunakan untuk kalangan sendiri, kini pupuk tersebut terdistribusikan secara luas termasuk ke luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan. Harga jualnya Rp. 1.100/kg untuk pupuk dari kotoran sapi, dan Rp. 1.500 per kg untuk kambing. Ia menjelaskan bahwa produksi pupuk yang dihasilkan bisa mencapai 2 ton per hari, sehingga omsetnya 50-60 juta per bulan dengan perhitungan 50-60 ton pupuk per bulan.
Tugimin mengenang ide awalnya membuat pupuk kompos berawal dari mendengarkan radio, yang waktu itu sedang membahas tentang kotoran ternak, kambing, lembu, yang bisa dibuat untuk membuat pupuk organik. Ia didukung keluargannya akhirnya mempraktekkannya, hingga didampingi PPL Dinas Pertanian. Setelah tahu dan berhasil akhirnya kapasitasnya produksinya ditambah.
“Di sini, yang bekerja di kandang dan kompos manajemennya terpisah, tapi tetap dibawah Kelompok Ternak Ngudi Makmur. Hal ini untuk menjaga kekompakan dan kondusivitas. Dalam usaha pupuk Tani Subur kami mempekerjakan 11 orang, yang mengambil kotoran 2 orang, yang lain bertugas produksi 8 orang,” terangnya.
Ia menambahkan, dalam hal pemasaran, konsumennya ada yang petani secara perorangan dan kelompok tani (Gapoktan). Dari luar Jawa pun ada seperti dari Baturaja, Samarinda, dan bahkan dari Pontianak meminta pihaknya sanggup menyediakan 100 ton dalam jangka waktu 3 bulan.
“Saya bangga dengan ini bisa ikut andil membantu pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran,” pungkasnya. (nch)