RAPBN 2026 Disetujui Rp2,504 T untuk Kemendes: Apa Dampaknya untuk Pendamping Desa, Stunting, dan TEKAD?

ByTitik Kartitiani

18 September 2025

Jakarta | Narasidesa.com — Badan Anggaran DPR dan Kemenkeu akhirnya menyepakati RAPBN 2026 dalam rapat tingkat I yang akan dibawa dalam rapat paripurna 23 September 2025 nanti. Dalam dokumen tersebut DPR dan pemerintah menyetujui anggaran Rp2,504 triliun bagi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Angka ini sedikit meningkat dibanding tahun lalu, namun pertanyaan publik tetap sama: sejauh mana uang rakyat ini benar-benar menyentuh desa?

Alokasi ini diarahkan pada tiga program utama: penguatan pendampingan desa, penanganan stunting, serta keberlanjutan program TEKAD (Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu). Menteri Desa menegaskan bahwa dana ini menjadi “amunisi” untuk memastikan desa menjadi garda terdepan pembangunan inklusif.

Namun, catatan kritis tetap muncul. Data BPS 2024 menunjukkan bahwa meski dana desa mengucur lebih dari Rp400 triliun sejak 2015, kesenjangan antar desa masih tajam. Desa maju semakin maju, desa tertinggal masih terjebak pada infrastruktur dasar.

Pendamping Desa: Pasukan di Garis Depan

Pendamping desa menjadi instrumen vital dalam memastikan dana tidak bocor. Tapi, laporan Ombudsman tahun 2024 menyoroti rendahnya kapasitas sebagian pendamping. “Kualitas tidak merata, banyak yang hanya sekadar administrasi tanpa benar-benar memberdayakan masyarakat,” ujar salah satu peneliti tata kelola desa.

APBN 2026 menjanjikan rekrutmen dan pelatihan lebih sistematis. Pertanyaannya, apakah anggaran akan fokus pada peningkatan kualitas SDM atau kembali habis untuk belanja birokrasi?

Stunting: Masalah Generasi

Stunting kini menjadi kata kunci dalam setiap program desa. Angka prevalensi stunting nasional turun dari 24,4% (2021) menjadi 21,5% (2024). Namun, di desa-desa terpencil, angka ini masih di atas 30%.

Dengan anggaran baru, Kemendes berjanji memperkuat program pangan lokal berbasis BUMDes dan PKK. Desa didorong memproduksi pangan bergizi: telur, ikan, sayur, buah. Tetapi tanpa integrasi dengan sektor kesehatan, intervensi berpotensi hanya berhenti di distribusi pangan.

TEKAD: Jalan Baru atau Program Lama dengan Nama Baru?

Program TEKAD digadang sebagai inovasi untuk mempercepat ekonomi desa lewat klaster usaha, pelatihan, dan akses pasar. Meski baru berjalan di 20 provinsi, evaluasi awal menunjukkan problem klasik: birokratisasi berlapis, laporan tebal, dampak tipis.

Beberapa desa di NTT justru berhasil mengolah TEKAD sebagai momentum. Misalnya Desa Fatumnasi yang membangun klaster kopi organik, memanfaatkan digital marketing, dan berhasil menembus pasar Jakarta. Artinya, kuncinya bukan pada nama program, tetapi kepemimpinan lokal.

Tantangan Transparansi

ICW mencatat setidaknya ada 601 kasus korupsi dana desa dalam 5 tahun terakhir dengan kerugian negara Rp480 miliar. Anggaran besar tanpa sistem pengawasan yang kuat akan jadi bom waktu.

Digitalisasi tata kelola desa seharusnya jadi syarat mutlak. Sistem transparansi berbasis aplikasi, partisipasi warga lewat musyawarah online, dan audit independen bisa jadi penangkal kebocoran.

APBN 2026 memang memberi ruang fiskal lebih bagi Kemendes. Namun, pekerjaan rumah masih menumpuk: meningkatkan kualitas pendamping desa, memperkuat koordinasi lintas kementerian dalam program stunting, dan memastikan TEKAD tidak sekadar proyek seremonial.

Jika gagal, Rp2,504 triliun itu hanya jadi angka dalam dokumen. Tapi jika berhasil, desa bisa benar-benar menjadi lokomotif Indonesia Emas 2045.