Jakarta | Narasi Desa – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang menjadi kebijakan prioritas pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, terus bergulir dengan skema penyaluran yang semakin matang. Dengan alokasi anggaran mencapai Rp71 triliun pada APBN 2025, program ini ditargetkan menyasar sekitar 19,47 juta orang, mulai dari anak sekolah hingga ibu hamil dan menyusui.

Sejak uji coba pertama di Kota Tangerang pada Agustus 2024, sebanyak 76 sekolah telah menjalankan program ini, dengan target 99 sekolah hingga akhir November 2024. Pemerintah menegaskan bahwa MBG bukan sekadar penyediaan makanan, tetapi juga bagian dari edukasi tentang pola makan sehat dan perubahan perilaku hidup bersih bagi generasi muda.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Tangerang, Jamaluddin, menekankan bahwa tata kelola MBG terus mengalami penyempurnaan, baik dari segi kualitas gizi, cita rasa, hingga efektivitas distribusi. “Kami ingin anak-anak tidak hanya mendapatkan asupan bergizi, tetapi juga memiliki kebiasaan makan yang lebih sehat sejak dini,” ujarnya.
Desa sebagai Pusat Produksi dan Distribusi MBG
Di balik keberhasilan program ini, desa-desa di Indonesia memiliki peran strategis, terutama dalam menyediakan bahan pangan berkualitas bagi dapur-dapur MBG. Dengan skema penyaluran yang mencakup dapur pusat, dapur sekolah/pesantren, serta distribusi ke daerah terpencil, desa dapat menjadi pemasok utama produk pertanian, peternakan, dan perikanan yang digunakan dalam program ini.
Badan Gizi Nasional (BGN), sebagai koordinator utama, telah membangun 85 satuan pelayanan MBG yang tidak hanya berfungsi sebagai dapur umum, tetapi juga sebagai offtaker produk lokal. Ini membuka peluang besar bagi petani, peternak, dan nelayan di desa untuk memasok hasil produksi mereka secara langsung ke program MBG, menciptakan rantai pasok yang lebih efisien dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi desa.
Menurut Kepala BGN, Dadan Hindayana, satuan pelayanan MBG dirancang untuk melayani hingga 3.000 anak sekolah, dengan fasilitas memasak yang memadai dan peralatan modern. “Kami berupaya agar setiap bahan pangan yang digunakan dalam MBG berasal dari sumber lokal, sehingga selain meningkatkan gizi anak, juga memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi masyarakat desa,” jelasnya.
Tiga Skema Penyaluran MBG dan Peran Desa
Badan Gizi Nasional (BGN) telah menetapkan tiga skema utama dalam penyaluran makanan bergizi gratis ini:
- Skema Dapur Pusat
Dalam skema ini, dapur pusat akan didirikan di berbagai wilayah strategis dan akan menjadi tempat produksi utama makanan bergizi sebelum didistribusikan ke sekolah-sekolah penerima manfaat. Desa-desa di sekitar dapur pusat dapat berperan sebagai pemasok utama bahan pangan, seperti sayur-mayur, telur, daging, dan beras, memastikan makanan yang disediakan segar dan berkualitas tinggi. - Skema Dapur Sekolah/Pesantren
Untuk sekolah atau pesantren dengan jumlah siswa minimal 2.000 orang, dapur akan dibangun di lokasi tersebut. Hal ini memungkinkan penyediaan makanan yang lebih efisien dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Peran desa dalam skema ini sangat penting, terutama dalam penyediaan bahan baku secara langsung, serta pelibatan koperasi dan BUMDes dalam manajemen dapur sekolah. - Skema Distribusi ke Daerah Terpencil
Untuk daerah yang sulit dijangkau dalam waktu kurang dari setengah jam, makanan akan dikirimkan dalam bentuk paket vacuum-sealed, yang bisa bertahan lebih lama tanpa kehilangan nilai gizinya. Desa-desa di sekitar titik distribusi dapat menjadi pusat logistik dan membantu dalam penyimpanan serta distribusi makanan ke wilayah yang lebih jauh.
Dampak Ekonomi dan Sosial bagi Desa
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan bahwa program MBG dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan. Pada 2025, program ini diprediksi akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp4.510 triliun, dengan dampak berganda yang terus meningkat seiring bertambahnya anggaran dan jumlah penerima manfaat.

Dengan jumlah penerima yang terus meningkat dari tahun ke tahun, peluang desa untuk terlibat dalam rantai pasok MBG juga semakin besar. Desa dapat mengoptimalkan peran BUMDes dan koperasi desa sebagai pengelola distribusi bahan pangan lokal, sehingga manfaat ekonomi tidak hanya dirasakan oleh petani dan peternak, tetapi juga oleh seluruh ekosistem desa.
Selain itu, program MBG dapat menjadi stimulus bagi desa dalam mengembangkan infrastruktur pendukung seperti dapur sehat desa, sistem logistik pangan, serta pelatihan bagi masyarakat dalam pengolahan makanan bergizi. Dengan demikian, desa bukan hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga aktor utama dalam keberhasilan program ini.
Program Makan Bergizi Gratis bukan hanya tentang memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan sehat, tetapi juga membuka peluang besar bagi desa sebagai pusat produksi dan distribusi bahan pangan berkualitas. Dengan keterlibatan aktif dari petani, peternak, BUMDes, dan koperasi desa, MBG dapat menjadi motor penggerak ekonomi desa sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Ke depan, sinergi antara pemerintah, desa, dan lembaga lokal harus semakin diperkuat agar program ini berjalan lebih efektif dan memberikan dampak nyata bagi semua pihak yang terlibat. Desa tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga pilar utama dalam mendukung ketahanan pangan dan gizi nasional.