Peken Kidung Mbah Gombel, Simfoni Pasar Rakyat di Sumberejo

ByCahyadi Joko Sukmono

4 May 2025

Di sudut selatan Klaten, tepatnya di Desa Sumberejo, tumbuh sebuah denyut kehidupan yang berbeda. Tak disulap oleh kapital raksasa, tak dihiasi gemerlap lampu LED, namun justru memikat hati lewat kesederhanaan dan nyawa budaya. Namanya: Peken Kidung Mbah Gombel. Dimulai pada Oktober 2024 lalu oleh warga RT 3 RW 10 Dusun Jomboran, Desa Sumberejo, Kecamatan Klaten Selatan, Klaten sampai hari ini berkembang semakin ramai.

Sejak fajar merekah dan kabut menyelimuti hamparan sawah, warga desa mulai menata lapak mereka di pelataran sederhana. Meja-meja kayu tua dihampar daun pisang, tempat aneka jajan pasar disusun rapi—gethuk yang masih hangat, lupis dengan parutan kelapa segar, cenil warna-warni yang menggoda mata. Aroma kukusan dan bebakaran menari di udara, menyentuh hidung setiap pengunjung dengan lembut dan mengundang.

Namun, ada satu hal unik yang membuat pasar ini berbeda: semua transaksi jual beli tidak menggunakan uang tunai. Sebagai gantinya, pengunjung menukar uang mereka dengan koin kayu di Gubug Penukaran Koin. Satu koin bernilai dua ribu rupiah. Koin-koin ini tidak hanya menjadi alat tukar, tetapi juga menjadi simbol nilai gotong royong dan lokalitas. Satu porsi pecel gendar, lengkap dengan rempeyek dan sambal kacang yang menggoda, dibanderol seharga 3 koin. Sementara segelas es teh segar cukup ditebus dengan 1 koin saja. Transaksi tanpa uang tunai ini menciptakan suasana pasar yang bersih, aman, sekaligus mempererat interaksi sosial tanpa repot soal kembalian.

Peken Kidung Mbah Gombel tak digelar setiap hari, melainkan hadir sebagai ritual kultural setiap Minggu pertama dan ketiga tiap bulan. Kehadirannya yang periodik menjadikan pasar ini sebagai agenda yang dinanti, bukan sekadar oleh warga desa, tetapi juga wisatawan dari luar daerah yang ingin mencicipi kembali ruh desa yang mulai langka.

Mbah Gombel, tokoh mitologis Jawa yang kerap disalahpahami sebagai makhluk penakut anak-anak, dalam pasar ini justru diangkat sebagai penjaga nilai. Ia adalah simbol kasih yang tak selesai, penjaga anak-anak yang terabaikan, metafora bagi mereka yang tercecer di pusaran zaman. Dalam Peken ini, Mbah Gombel dijelmakan menjadi energi pengasuhan komunitas, terutama terhadap para ibu rumah tangga dan pelaku UMKM kecil yang menggantungkan hidup dari wajan dan dapur mereka.

Peken Kidung Mbah Gombel bukan sekadar tempat belanja—ia adalah ruang interaksi sosial, laboratorium kecil kebudayaan, dan medan juang ekonomi lokal. Di sinilah warga menemukan harapan baru, dari sisa-sisa masa lalu yang mereka kemas dengan penuh cinta. Sebab di Sumberejo, mereka tak sedang menjual makanan. Mereka sedang menyuguhkan rasa: tentang keluarga, perjuangan, dan harapan. Tentang bagaimana desa, meski kecil dan jauh dari sorotan, mampu mencipta narasi besar lewat pasar rakyatnya.