​Menyeragamkan Desa, Memudarkan Marwah: Catatan Kritis untuk Kebijakan Pusat

ByTim Redaksi

27 October 2025

​Indonesia terbentang dengan lebih dari 80.000 desa. Namun, angka itu bukan sekadar data statistik. Angka itu adalah 80.000 lebih karakter, ekosistem, kearifan lokal, dan identitas sosial-budaya yang unik. Desa di pesisir utara Jawa yang hidup dari deru ombak dan lelang ikan, jelas berbeda dengan desa di dataran tinggi Papua yang bertumpu pada ubi dan tradisi adat.

​Ironisnya, semangat keragaman yang diakui oleh konstitusi melalui “hak asal usul” dan “rekognisi” ini, seringkali terbentur oleh realitas kebijakan dari Jakarta. Ada kecenderungan berbahaya yang terus berulang: menggunakan kacamata “seragam” (one-size-fits-all) untuk mengatur desa.

​Pendekatan ini mungkin tampak efisien di atas kertas birokrasi, namun di lapangan, ia berpotensi memudarkan marwah, membunuh inovasi, dan melucuti hak-hak esensial yang dimiliki desa.

​Jebakan “Efisiensi” Bernama Penyeragaman

​Niat pemerintah pusat tidak salah. Menyalurkan Dana Desa, memastikan ketahanan pangan, atau menurunkan angka stunting adalah tujuan mulia. Masalahnya terletak pada metode, yang seringkali berbentuk program, petunjuk teknis (Juknis), dan aplikasi pelaporan yang kaku dan seragam untuk semua.

​Desa tidak dilihat sebagai subjek yang berdaulat atas wilayah dan warganya, melainkan sebagai objek administratif—perpanjangan tangan proyek pusat.

​Ketika kebijakan dipaksa seragam, inilah yang terjadi:

​1. Kasus BUMDes: Antara Inovasi Lokal dan Kekakuan Badan Hukum

Kebijakan: Transformasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi entitas berbadan hukum (sering didorong menjadi PT).

Niat Baik: Agar BUMDes profesional, bankable, dan memiliki legalitas yang kuat untuk berusaha.

Realitas di Lapangan:

  • ​Tidak semua desa siap atau butuh struktur korporasi yang kompleks. Banyak BUMDes tumbuh dari kearifan lokal, seperti mengelola pasar desa, air bersih, atau lumbung pangan komunal.
  • ​Bagi desa-desa ini, beban administrasi badan hukum (laporan RUPS, audit, pajak korporasi) bisa jadi lebih besar daripada manfaatnya. Fokus bergeser dari “mengembangkan usaha” menjadi “melengkapi administrasi”.
  • ​Model BUMDes di Desa Ponggok yang berbasis wisata air tidak bisa disalin-tempel (copy-paste) ke desa di lahan gambut Kalimantan yang fokusnya adalah ekosistem dan perhutanan sosial. Memaksa mereka memakai “baju” yang sama adalah sebuah kekeliruan.

​2. Kasus Dana Desa: Antara Kewenangan Musdes dan Pagar Earmarking

Kebijakan: Penggunaan Dana Desa yang diatur secara ketat oleh Pusat (earmarking), misalnya: sekian persen wajib untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), sekian persen untuk ketahanan pangan, sekian persen untuk stunting.

Niat Baik: Memastikan Dana Desa fokus pada prioritas nasional yang mendesak.

Realitas di Lapangan:

  • ​Kebijakan ini secara langsung melucuti marwah Musyawarah Desa (Musdes). Musdes adalah forum tertinggi di desa untuk menentukan prioritas berdasarkan kebutuhan riil warga.
  • ​Bagaimana jika di sebuah desa, menurut Musdes, prioritas tertingginya adalah memperbaiki jembatan yang putus agar anak-anak bisa sekolah, bukan BLT karena warganya relatif sejahtera? Dengan adanya earmarking, suara Musdes menjadi tidak relevan.
  • ​Kepala Desa dan perangkatnya terdegradasi dari “pemimpin pembangunan” menjadi “administrator program pusat”. Mereka sibuk membuat laporan SPJ untuk program yang mungkin tidak mereka butuhkan, alih-alih berinovasi sesuai potensi lokal.

​3. Kasus Program Top-Down: Dari Koperasi Hingga “Desa Cerdas”

Kebijakan: Peluncuran program-program baru dari kementerian/lembaga yang “dicap” di desa. Contoh terbaru adalah wacana pembentukan Koperasi Desa Merah Putih di seluruh Indonesia.

Niat Baik: Menangani isu spesifik, seperti rantai pasok pangan atau digitalisasi.

Realitas di Lapangan:

  • ​Program top-down seringkali mengabaikan institusi lokal yang sudah ada. Di banyak desa, Koperasi Unit Desa (KUD), kelompok tani (Poktan), atau lembaga adat sudah berjalan, walau mungkin terseok-seok.
  • ​Menciptakan lembaga baru yang seragam (seperti Koperasi Merah Putih) alih-alih merevitalisasi dan memperkuat lembaga yang sudah ada, berisiko menciptakan tumpang tindih, persaingan tidak sehat, dan mematikan inisiatif yang sudah tumbuh dari bawah.
  • ​Hal yang sama berlaku untuk program “Desa Cerdas”. Niatnya baik, tetapi jika Juknis-nya seragam, maka desa di pedalaman yang belum memiliki sinyal internet dipaksa mengikuti standar yang sama dengan desa di pinggir kota yang infrastrukturnya lengkap.

​Rekomendasi: Kembalikan Desa pada Khitahnya

​Pemerintah pusat harus mengubah paradigmanya dari intervensi menjadi rekognisi (pengakuan) dan fasilitasi.

​Desa bukanlah halaman kosong yang bisa dilukis sembarangan oleh Jakarta. Desa adalah entitas berdaulat dengan karakter uniknya.

​Untuk mengembalikan marwah desa, tiga hal ini mendesak untuk dilakukan:

  1. Percayai Musyawarah Desa (Musdes). Hentikan earmarking Dana Desa yang berlebihan. Berikan fleksibilitas fiskal. Biarkan desa menentukan prioritasnya sendiri melalui Musdes, karena merekalah yang paling tahu kebutuhannya.
  2. Terapkan Kebijakan Asimetris. Pemerintah pusat seharusnya hanya menetapkan standar hasil (contoh: “angka stunting harus turun”), bukan menyeragamkan metode (contoh: “wajib membuat program A”). Biarkan desa berinovasi menemukan caranya sendiri untuk mencapai hasil tersebut.
  3. Perkuat yang Ada, Jangan Buat yang Baru. Fokus pada revitalisasi lembaga lokal yang ada (KUD, Poktan, Lembaga Adat), bukan menciptakan entitas baru yang seragam dan justru membebani desa.

​Pada akhirnya, kekuatan Indonesia tidak terletak pada keseragamannya, tetapi pada keragaman 80.000 lebih desa yang tumbuh sesuai karakter dan potensinya. Menyeragamkan mereka sama dengan mematikan jiwa bangsa ini.