
Jejak Peradaban di Antara Bukit Karst
Langit pagi mulai beranjak terang ketika kami memasuki Desa Pucung, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Udara pagi terasa segar, membawa aroma khas tanah basah dan dedaunan yang masih diselimuti embun. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan bukit karst yang kokoh berdiri, sisa jejak dari aliran Sungai Bengawan Solo Purba yang telah lama mengering.
Di desa ini, alam dan sejarah seolah bertaut erat, menghadirkan lanskap yang memikat bagi siapa saja yang datang. Pucung bukan sekadar desa biasa—ia adalah penjaga kisah masa lalu, sekaligus harapan masa depan bagi masyarakatnya.
Wotawati: Desa Unik di Lembah Purba
Salah satu bagian desa yang paling menarik perhatian kami adalah Dusun Wotawati. Dusun ini terletak di lembah bengawan solo purba yang dikelilingi perbukitan tinggi, menciptakan fenomena unik: matahari di sini terbit lebih lambat dan terbenam lebih cepat dibandingkan wilayah sekitarnya.
Ketika kami berjalan menyusuri jalanan desa, seorang warga setempat, Pak Sutarno, menyambut kami dengan senyum ramah. “Di sini, kami merasa seperti hidup dalam dunia kecil kami sendiri. Seperti berada dalam pelukan alam,” katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi.
Di bukit itu terdapat Goa Song Putri, yang menurut cerita turun temurun merupakan tempat tinggal Raden Joyo Sukmo, seorang punggawa kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri seiring runtuhnya kerajaan tersebut. Ia ditemani oleh sang istri yang bernama Ayu Sukmawati dan juga pengikut-pengikutnya. Mereka tinggal dan bermukim di lembah yang subur tersebut.

Wotawati kini sedang dikembangkan sebagai destinasi wisata berbasis budaya. Rumah-rumah warga mulai direnovasi dengan sentuhan arsitektur Majapahit dan Mataram, menjadikannya desa yang tidak hanya indah, tetapi juga penuh nilai sejarah.
Pantai Srakung: Keindahan yang Masih Perawan
Tak jauh dari pemukiman, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Srakung, salah satu permata tersembunyi di Gunungkidul. Untuk mencapai pantai ini, kami harus berjalan kaki melewati jalan setapak yang masih alami, ditemani suara angin yang berbisik di antara pepohonan.

Sesampainya di sana, pemandangan yang tersaji begitu menakjubkan. Laut biru terbentang luas di hadapan kami, berpadu dengan pasir putih yang halus. Tidak ada hiruk-pikuk wisatawan seperti di pantai-pantai populer lainnya. Hanya suara ombak yang memecah sunyi, memberikan ketenangan bagi siapa pun yang menginjakkan kaki di sini.
“Srakung masih alami, belum banyak yang tahu tempat ini. Kami ingin menjaganya agar tetap seperti ini, tenang dan asri,” ujar Pak Eko, sekretaris desa.
Di sore hari, matahari perlahan tenggelam di cakrawala, menciptakan gradasi warna jingga keemasan yang membius pandangan.
Pantai Ngungap: Keindahan di Atas Tebing
Jika Srakung menawarkan kelembutan pasir putihnya, Pantai Ngungap memberikan pengalaman yang berbeda. Pantai ini bukanlah pantai berpasir, melainkan gugusan tebing karst yang menjulang tinggi, menghadirkan panorama dramatis khas pesisir selatan Jawa.

Dari atas tebing, kami bisa melihat ombak besar Samudra Hindia menghantam bebatuan, menciptakan percikan air yang menyapu karang. Sensasi berdiri di ujung tebing yang curam memberikan adrenalin tersendiri, seolah berdiri di ambang dunia.
Bagi para pemancing, Ngungap adalah surga. Banyak warga setempat datang ke sini membawa joran panjang, menunggu ikan-ikan besar yang naik ke permukaan. “Di sini kalau beruntung bisa dapat ikan kakap merah atau kerapu besar,” kata seorang pemancing yang kami temui.
Pertanian dan Harapan Masa Depan
Selain keindahan alamnya, Desa Pucung juga dikenal sebagai daerah agraris. Warga masih mempertahankan tradisi bertani, menanam padi, jagung, dan umbi-umbian sebagai sumber penghidupan utama.
Seiring dengan berkembangnya sektor pariwisata, pertanian organik mulai diperkenalkan sebagai bagian dari konsep agrowisata berkelanjutan. Wisatawan bisa ikut serta dalam aktivitas pertanian, memetik sayuran segar, atau belajar tentang sistem irigasi tradisional yang digunakan oleh masyarakat setempat.
Menutup Perjalanan dengan Kenangan yang Abadi
Meninggalkan Desa Pucung bukanlah perkara mudah. Ada daya tarik yang sulit dijelaskan dengan kata-kata—perpaduan antara ketenangan, keindahan, dan keramahan masyarakat yang membuat kami ingin kembali lagi.
Desa ini bukan sekadar tempat wisata, tetapi juga representasi dari bagaimana manusia dan alam bisa hidup berdampingan dengan harmonis. Di setiap sudutnya, tersimpan cerita yang menunggu untuk ditemukan, keindahan yang siap untuk dinikmati, dan harapan yang terus menyala untuk masa depan.
Bagi siapa pun yang mencari ketenangan, inspirasi, atau sekadar ingin menjelajahi surga tersembunyi, Desa Pucung adalah jawabannya.