Suluk Desa #2

“Yang memberi tak kehilangan, yang menahan tak bertambah.
Sebab dalam berbagi, sesungguhnya kita sedang menjaga keseimbangan semesta.”
Beberapa waktu terakhir, aku sering duduk diam menatap padi yang mulai menguning.
Angin dari utara membawa kabar tentang program, tentang rapat besar, tentang niat baik yang dikemas dalam kata “pemberdayaan.”
Dan di antara kabar itu, ada suara lembut yang memanggilku:
“Mari bantu kami mendampingi desa,
mari bangun lumbung-lumbung baru.”
Aku diam.
Bukan karena ragu pada niat baik, tapi karena takut kehilangan rasa suci dari niat itu sendiri.
Sebab terlalu sering, yang disebut “pemberdayaan” justru membuat yang berdaya menjadi alat bagi yang berkuasa.
Tentang Lumbung yang Lama dan Lumbung yang Baru
Di tanah ini, lumbung pernah jadi jantung kehidupan.
Dari sanalah lahir kebersamaan, kepercayaan, dan rasa saling menanggung.
Tak semua orang tahu, tapi di antara debu sejarah itu, koperasi lahir sebagai bentuk cinta yang paling konkret, cinta yang bisa ditimbang, diukur, tapi juga dirasakan.
Namun kini, ketika “lumbung baru” hendak dibangun dengan sistem dan struktur, aku mulai bertanya pelan:
“Apakah semangatnya masih sama?
Atau kita sedang membangun menara di atas sawah yang tak lagi berakar?”
Aku tak menolak modernitas.
Aku hanya ingin nilai lama tetap punya kursi di rapat masa depan.
Tentang Desa yang Sedang Tumbuh
Aku sering melihat wajah-wajah itu, wajah para kepala desa yang letih, para ibu yang diam mendengarkan, dan para pemuda yang mulai ingin kembali ke kampung halaman.
Mereka semua membawa harapan yang sederhana:
“Kami ingin cukup.
Kami ingin damai.”
Tapi cukup itu kini jadi kata yang rumit,
karena angka-angka telah menelan rasa.
Di antara laporan dan proposal, kadang aku merasa seperti orang asing di tanah sendiri.
Dan di malam yang sepi, aku bertanya lagi pada diriku sendiri:
“Apakah aku masih pejalan yang sama,
atau kini aku sudah mulai menjadi bagian dari sistem yang dulu ingin aku ubah?”
Lumbung di Dalam Diri
Namun Tuhan selalu punya cara menenangkan hati.
Di sela rasa gamang, aku menemukan jawabannya di senyum petani yang menepuk bahuku.
Ia berkata:
“Yang penting panennya untuk bersama, Mas.
Mau pakai sistem lama atau baru, yang penting tetap saling percaya.”
Kalimat itu menampar sekaligus menenangkan.
Bahwa apa pun namanya, koperasi, kelompok, komunitas, atau desa mandiri, semuanya akan kembali pada satu hal: niat untuk menanggung bersama.
Dan mungkin itulah makna sejati dari “lumbung yang tak pernah kosong.”
Bukan karena banyaknya hasil,
tapi karena setiap orang yang menaruh sedikit dari miliknya,
percaya bahwa ia sedang menumbuhkan hidup bersama.
Penutup
Malam ini aku menulis dengan tangan yang masih bergetar.
Bukan karena takut, tapi karena sadar,
bahwa menulis tentang kebaikan jauh lebih mudah daripada menjaga agar niat itu tetap murni.
Dan aku tahu, perjalanan ini belum selesai.
Ada rapat yang harus dihadiri, ada konsep yang harus disampaikan,
tapi juga ada hati yang harus dijaga agar tak hanyut oleh pujian.
Maka aku berdoa pelan,
semoga setiap langkahku nanti di desa-desa yang kian ramai dengan program dan proyek,
tetap menyisakan ruang sunyi,
tempat aku bisa kembali mendengar bisikan Tuhan tentang makna berbagi.
Sebab lumbung sejati tak pernah kosong,
selama masih ada satu hati yang rela memberi sebelum diminta.
Catatan:
Ditulis menjelang malam Jumat, di tengah tumpukan undangan dan konsep kerja yang mulai terasa seperti ujian.
Untuk mereka yang masih berani jujur di antara angka dan data,
dan untuk diri sendiri — agar tak lupa bahwa desa adalah rumah,
dan lumbungnya bukan sekadar ruang, tapi jalan pulang.