Lomba Desa Ekspor 2025: Enam Finalis Mengangkat Potensi Lokal ke Pasar Global

ByTitik Kartitiani

14 October 2025

Dari desa untuk dunia. Itulah semangat yang menyelimuti Lomba Desa Ekspor Tahun 2025, ketika enam desa finalis diumumkan setelah seleksi ketat lintas 37 provinsi. Kompetisi ini bukan sekadar ajang, melainkan katalis untuk mempercepat hilirisasi potensi desa ke jalur ekspor—memadukan mutu produk, manajemen usaha, dan jaringan pasar internasional. Inisiatif berada di bawah Ditjen Pengembangan Ekonomi dan Investasi Desa Kemendesa PDTT dan dibuka untuk seluruh desa di Indonesia, lengkap dengan pembinaan teknis, narahubung, dan petunjuk pelaksanaan yang terintegrasi. Kampanye resminya menegaskan tujuan besar: menjadikan produk unggulan desa bagian dari ekonomi global.

Enam desa yang lolos final menunjukkan ragam potensi dan kesiapan. Desa Kaliurang di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, hadir dari lanskap agraris yang kuat, dengan ekosistem petani dan pelaku UMKM yang semakin rapi. Desa Ngoran di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, menampilkan basis produksi yang konsisten, memperkuat rantai pasok lokal untuk standar ekspor. Desa Pejaten di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali, dikenal akan kriya keramik yang telah menembus pasar mancanegara, menandai kematangan desain, kualitas, dan keberlanjutan produksi. Desa Tewang Tampang di Kecamatan Tasik Payawan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, membawa kekayaan hasil hutan bukan kayu dan kerajinan berbasis serat alami. Desa Mola Utara di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, memadukan kekuatan perikanan, budidaya rumput laut, dan kearifan bahari. Sementara Desa Pajaresuk di Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Pringsewu, Lampung, menonjol dalam komoditas hortikultura yang siap ditingkatkan melalui standardisasi dan branding ekspor.

Seleksi finalis menekankan tiga aspek utama: mutu produk dan konsistensi produksi, kepatuhan standar seperti kemasan, label, dan sertifikasi, serta kesiapan akses pasar melalui kemitraan, kanal distribusi, dan literasi ekspor. Program resmi Kemendesa PDTT menyediakan materi sosialisasi, buku saku, dan paparan teknis untuk memperkuat kesiapan desa—mulai dari registrasi, pendampingan, sampai penguatan model bisnis BUM Desa sebagai penghela ekspor. Komunikasi multi-platform memastikan pesan “produk desa bisa mendunia” sampai kepada pelaku di akar rumput, memacu partisipasi dan kolaborasi lintas wilayah.

Namun, jalan menuju pasar global bukan tanpa tantangan. Standarisasi produk menjadi syarat mutlak, mulai dari kemasan hingga traceability. Konsistensi pasokan juga kerap menjadi titik lemah, terutama dalam menjaga volume dan kualitas secara berkelanjutan. Branding dan kanal ekspor menuntut narasi yang kuat, di mana cerita asal-usul produk desa dapat menjadi nilai tambah. Sementara itu, pembiayaan dan logistik masih menjadi beban berat, mengingat biaya pengiriman dan modal kerja sering kali melampaui kapasitas pelaku usaha desa. Untuk itu, solusi yang ditawarkan meliputi pendampingan sertifikasi halal, HACCP, dan PIRT, kontrak produksi melalui agregasi BUM Desa, katalog produk bilingual dengan HS code jelas, hingga skema pembiayaan berbasis purchase order dan kemitraan dengan forwarder.

Dalam rilis publik, terdapat perbedaan penulisan dua finalis: “Kemuning” versus “Ngoran” di Blitar, serta “Pajarresuk” versus “Pajaresuk” di Pringsewu. Kedua varian muncul di materi promosi dan teks pengumuman. Untuk akurasi dokumen resmi, redaksi menyarankan verifikasi ke kanal Kemendesa PDTT sebelum publikasi definitif. Mengingat kampanye digital aktif dan siaran langsung kementerian, pembaruan data dapat muncul secara berkala.

Direktur Jenderal Pengembangan Ekonomi dan Investasi Desa, Dr. Tabrani, MPd, menegaskan bahwa lomba ini bukan sekadar kompetisi, melainkan gerakan bersama. “Kami ingin membuktikan bahwa desa bukan hanya objek pembangunan, tetapi subjek yang mampu menembus pasar global. Finalis ini adalah bukti nyata bahwa produk desa bisa bersaing dengan standar internasional,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Desa Pejaten, I Gusti Putu Sukarta, menyampaikan kebanggaannya. “Keramik Pejaten sudah lama dikenal, tetapi melalui lomba ini kami mendapat pendampingan yang lebih sistematis. Kami belajar soal sertifikasi, branding, dan akses pasar. Harapan kami, produk keramik Pejaten bisa semakin kuat di pasar ekspor,” katanya.

Dari Wakatobi, perwakilan nelayan Desa Mola Utara, La Ode Rahman, menambahkan, “Rumput laut kami sudah diekspor lewat pihak ketiga. Dengan program ini, kami ingin desa punya posisi tawar lebih baik, sehingga nilai tambah bisa kembali ke masyarakat.”

Lomba Desa Ekspor 2025 memperkuat paradigma bahwa ekspor bukan hanya urusan produk, tetapi juga tata kelola kolektif desa. Dengan pembinaan teknis, akses informasi, dan orkestrasi BUM Desa, enam finalis menjadi role model replikasi di wilayah lain. Agenda berikutnya adalah validasi sertifikasi, penajaman brand, kontrak pasar, dan penataan rantai nilai. Dari tangan petani, nelayan, dan pengrajin, desa berdiri tegak di panggung global, membawa nama Indonesia dengan kualitas, cerita, dan keberlanjutan.