Korupsi di tingkat desa bukan cerita baru. Setiap tahun, ratusan Kades di Indonesia tersandung kasus serupa, dari penggelapan Dana Desa, mark-up pembangunan infrastruktur, hingga penjualan aset desa.
Data dari ICW dan KPK memperlihatkan bahwa antara 2015 hingga 2023, lebih dari 900 Kades dan aparatur desa terseret ke meja hijau karena korupsi. Motifnya beragam, namun muaranya selalu sama: memanfaatkan celah lemahnya pengawasan dan rendahnya literasi hukum.
Kasus-Kasus Paling Fenomenal:
Kades di Kabupaten Pamekasan, Madura (2017): Dana desa ratusan juta dikorupsi untuk membeli mobil pribadi.
Kades di Banyumas, Jawa Tengah (2020): Dana pembangunan jalan diselewengkan, menyebabkan proyek mangkrak.
Kades di Muara Enim, Sumsel (2022): Dana desa fiktif dialirkan ke perusahaan keluarga.
Pola yang Sama, Sistem yang Lemah
Dari Trihanggo hingga Pamekasan, pola yang muncul nyaris serupa:
- Aparatur desa bersekongkol dengan kontraktor atau pihak ketiga.
- Laporan pertanggungjawaban dimanipulasi, masyarakat tidak pernah mendapatkan informasi rinci.
- Pengawasan lemah dari kecamatan hingga kabupaten.
Ini adalah penyakit kronis dari birokrasi desa yang gagal dipasok dengan nilai integritas sejak awal.
Melihat jejak panjang kasus korupsi desa, pertanyaan besar muncul: bagaimana korupsi di desa bisa dicegah?
Akar Masalahnya:
- Asimetri Informasi: Warga desa tidak memiliki akses mudah ke dokumen anggaran, perjanjian sewa, dan laporan realisasi. Aparatur dengan mudah memanfaatkan ketidaktahuan ini.
- Kultur Feodal: Di banyak desa, kades masih dipandang sebagai “raja kecil” alih-alih sebagai pelayan publik. Kritik dan pengawasan sosial kerap dipandang sebagai ancaman, bukan kontrol yang sehat.
- Insentif Moral yang Rusak: Pengelolaan dana miliaran rupiah tanpa persiapan mental dan etika menciptakan “god complex” — aparatur merasa dana itu milik pribadi, bukan amanah.
Solusi Strategis:
- Transparansi Digital: Setiap desa wajib mempublikasikan semua penggunaan dana dan pengelolaan aset melalui dashboard digital terbuka yang bisa diakses warga.
- Partisipasi Masyarakat: Membentuk Badan Pengawas Desa Independen dengan anggota berasal dari elemen warga, akademisi, dan aktivis sosial lokal.
- Pendidikan Integritas: Pelatihan integritas wajib bagi semua aparatur desa, bukan sekadar administrasi teknis.
- Audit Real-Time: Audit berkala tidak lagi cukup. Perlu pengawasan real-time melalui sistem monitoring berbasis teknologi (contoh: Blockchain Dana Desa).
Epilog: Desa Adalah Jantung Pembangunan
Bila korupsi tak diberantas di desa, jangan harap Indonesia bisa menyongsong visi keadilan sosial di 2045. Desa adalah pondasi dari negara — retaknya desa berarti runtuhnya kepercayaan publik kepada negara.
Hari ini, Trihanggo. Besok, bisa jadi desamu.
Redaksi Investigasi
Untuk Negeri, Untuk Keadilan.