KOPERASI DESA MERAH PUTIH, SEJARAH YANG BERULANG?

ByCahyadi Joko Sukmono

4 March 2025

NARASI EDITORIAL

Hari itu langit mendung di desa. Seorang petani duduk di teras rumahnya, menatap sawah yang hijau, tapi pikirannya penuh dengan harga beras yang tak kunjung berpihak. Ia mendengar berita: 70.000 koperasi baru akan lahir. Koperasi Desa Merah Putih, katanya. Akan dibiayai dari Dana Desa, katanya. Akan menjadi solusi ekonomi desa, katanya.

Ia diam sejenak. Lalu tersenyum tipis. Sudah sering ia mendengar kalimat-kalimat seperti itu.

Sejarah di negeri ini selalu punya pola yang berulang. Tahun 1970-an, lahir KUD (Koperasi Unit Desa). Ia dijadikan andalan negara untuk menyalurkan pupuk, membeli gabah petani, dan menggerakkan ekonomi desa. Tapi banyak KUD yang akhirnya mati, perlahan tapi pasti. Begitu hak eksklusif pupuk diambil, KUD satu per satu tumbang.

Lalu di era reformasi, BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) diperkenalkan. Sebuah konsep yang brilian: membiarkan desa mengelola ekonomi sendiri. Tapi kenyataannya, banyak BUMDes yang berdiri tanpa model bisnis yang jelas. Sekadar menjalankan proyek pemerintah. Banyak yang sukses, tapi lebih banyak yang akhirnya menjadi sekadar nama di papan desa.

Sekarang, Koperasi Desa Merah Putih muncul sebagai wajah baru. Lebih besar, lebih ambisius, lebih politis. Tapi pertanyaannya tetap sama: apakah ini benar-benar solusi atau hanya pengulangan skenario lama?

EKONOMI DESA: POLITIK, UANG, DAN KEPERCAYAAN

Koperasi, sejak awal, selalu lebih banyak menjadi proyek politik daripada ekonomi murni. Dulu Bung Hatta menanamkan koperasi sebagai sokoguru ekonomi nasional. Tapi setelah itu, koperasi seperti anak tiri: dibesarkan saat kampanye, dilupakan setelah pemilu selesai.

Hari ini bahkan koperasi memiliki kementerian sendiri. Dan masalah terbesar koperasi selalu sama: kepercayaan.

Di desa, koperasi sering kali lebih dekat dengan kepala desa atau elite lokal dibandingkan warganya sendiri. Transparansi? Masih jadi barang mewah. Keputusan bisnis? Sering kali diatur dari atas. Akibatnya, yang terjadi bukan koperasi sebagai gerakan rakyat, melainkan koperasi sebagai proyek.

Dan proyek, sebagaimana kita tahu, hanya hidup selama anggaran masih mengalir.

70.000 KOPERASI BARU: SOLUSI ATAU KONFLIK BARU?

Di atas kertas, membangun 70.000 koperasi baru terdengar seperti revolusi ekonomi desa. Tapi pertanyaannya, apakah desa benar-benar butuh koperasi baru?

Desa sudah punya KUD, BUMDes, KSP (Koperasi Simpan Pinjam), KUD (Koperasi Unit Desa), bahkan koperasi tani dan nelayan yang sudah lebih dulu berjalan. Lalu, bagaimana posisi Koperasi Desa Merah Putih ini? Akan bersinergi atau justru bersaing?

Jika koperasi ini hanya menduplikasi yang sudah ada, desa akan menjadi ajang perebutan sumber daya. Koperasi bersaing dengan BUMDes, KSP berhadapan dengan koperasi simpan pinjam, semuanya berebut anggaran dan kepercayaan warga. Dan di tengah itu semua, petani tetap menjadi penonton.

Di desa, petani sudah cukup sering melihat uang datang dan pergi. Tapi kepercayaan? Itu yang sulit dibangun.

BUKAN NAMA, TAPI SISTEM YANG BENAR

Koperasi Desa Merah Putih bisa menjadi solusi besar, jika ia dibangun dengan sistem yang benar. Bukan sekadar dibentuk dengan SK dan anggaran, tapi dengan model bisnis yang solid, transparan, dan berbasis kepercayaan.

  1. Sinkronisasi dengan yang sudah ada
    Jika koperasi ini tidak bisa bekerja sama dengan BUMDes atau koperasi lain, maka ia akan berakhir sebagai proyek lain yang gagal. Harus ada strategi besar agar koperasi ini tidak menjadi duplikasi tanpa arah.
  2. Dari bawah, bukan dari atas
    Koperasi yang dibangun dengan pendekatan top-down akan sulit bertahan. Desa harus diberi ruang untuk menentukan bentuk dan peran koperasinya sendiri.
  3. Bisnis yang jelas, bukan sekadar administrasi
    Koperasi bukan sekadar tempat berkumpul dan menyusun laporan. Harus ada model bisnis yang konkret, daya saing yang kuat, dan keunggulan dibandingkan pasar luar.
  4. Kepercayaan lebih penting dari modal
    Uang bisa dibagikan, tapi kepercayaan tidak. Jika koperasi ini hanya menjadi tempat distribusi dana, ia akan mati begitu anggaran selesai. Tapi jika ia menjadi institusi yang dipercaya warganya, ia akan hidup bahkan tanpa subsidi.

Seorang petani di desa itu masih duduk di teras rumahnya, menatap langit. Hujan turun perlahan.

Ia tidak peduli nama koperasi apa yang akan datang. Yang ia pedulikan hanya satu: apakah kali ini, nasibnya benar-benar akan berubah?

Atau ini hanya riwayat yang berulang