
Ada sebuah ironi di balik lahirnya Koperasi Merah Putih di dua panggung berbeda: desa dan kelurahan. Keduanya lahir dari semangat gotong royong, dari mimpi tentang ekonomi rakyat yang berdaulat. Namun, begitu kita menelusuri aturan mainnya, terlihat jelas: jalan yang dilalui ternyata tidak sama.
Berdasarkan UU Desa No. 6 Tahun 2014, desa adalah sebuah self-governing community. Ia punya otonomi, punya APBDes, punya aset desa, bahkan punya BUM Desa yang sah secara hukum. Desa adalah sebuah “negara mini” yang bisa menulis Perdes, mengelola tanah kas desa, dan menjalankan roda ekonomi lewat lembaga sendiri.
Sebaliknya, kelurahan hanyalah perangkat administrasi kota atau kabupaten. Tidak ada BUM Kelurahan, tidak ada tanah kas kelurahan, tidak ada APBD Kelurahan yang bisa diatur sendiri. Semua tergantung APBD dan program pemberdayaan daerah.
Inilah titik pertama yang membuat Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dan Koperasi Kelurahan Merah Putih (KKMP) berjalan dengan logika yang berbeda.
Desa: Di Bawah Bendera Otonomi
Di desa, koperasi bisa menempel langsung ke denyut nadi otonomi. Bayangkan sebuah koperasi yang bukan hanya mengelola simpan pinjam, tapi juga menjadi agregator pangan desa, pengelola energi terbarukan, wisata desa, hingga logistik pasca panen.
Karena ada BUM Desa, modal publik bisa diputar untuk pengering padi, gudang penyimpanan, mesin pakan ikan, hingga pasar desa. Koperasi dan BUM Desa bisa bersinergi: yang satu mengelola aset publik, yang satu lagi menggerakkan ekonomi anggota.
Tapi di balik peluang itu, tersimpan jebakan yang sering tak disadari: siapa pemilik koperasi? Jangan sampai pemerintah desa, karena mengelola dana publik, ikut campur ke dalam pengambilan keputusan koperasi. UU tegas menyatakan: koperasi adalah milik anggota, bukan milik pemerintah. Pemerintah boleh jadi mitra, pembina, pemberi kontrak, tapi bukan pemegang saham.
Jika garis ini kabur, koperasi akan kehilangan jiwanya: dari, oleh, dan untuk anggota.
Kelurahan: Menari di Panggung Kota
Berbeda dengan desa, kelurahan hidup di panggung yang sepenuhnya administratif. Lurah adalah ASN, bukan pejabat politik. Anggaran yang ada di kelurahan berasal dari APBD kota atau kabupaten, lewat program pemberdayaan masyarakat, peningkatan sarpras, hingga Dana Kelurahan.
Tidak ada BUM Kelurahan. Tidak ada tanah kas kelurahan. Karena itu, Koperasi Kelurahan Merah Putih tidak bisa mengandalkan modal publik seperti di desa.
Lalu dari mana jalannya?
Pertama, lewat program APBD yang bisa menjadi kontrak layanan bagi koperasi. Kedua, lewat CSR perusahaan yang masuk ke kota. Dan ketiga, lewat inisiatif warga: Karang Taruna, PKK, LPMK, hingga komunitas RT/RW yang bisa menjadi anggota dan pemodal koperasi. Di sinilah koperasi kelurahan menemukan rohnya: sebagai orkestrator program komunitas perkotaan, bukan sekadar pedagang di pojok jalan.
Tiga Friksi yang Sering Muncul
- Ilusi modal pemerintah
Banyak yang tergoda untuk menyuntikkan APBDes atau Dana Kelurahan sebagai “modal” koperasi. Padahal undang-undang melarang pemerintah menjadi anggota atau pemodal koperasi. Jalannya adalah kontrak layanan atau kerja sama bisnis—bukan penyertaan modal. - Politik dan netralitas
ASN, lurah, atau kepala desa tidak boleh menjadi pengurus koperasi. Peran mereka harus tetap netral: pembina, bukan pemegang keputusan bisnis. - Tumpang tindih kelembagaan
Di desa, BUM Desa dan koperasi bisa berebut peran jika tidak ada pemetaan kontribusi dalam ekosistem desa yang jelas. Solusinya: BUM Desa fokus ke pengelolaan aset publik, koperasi fokus pada value creation untuk anggota.
Arsitektur Kolaborasi: Menyatukan Semangat Merah Putih
Desa dan kelurahan boleh berbeda panggung, tapi semangat Merah Putih tetap satu: membangun kemandirian ekonomi warga.
- Di Desa: Bangun tripilar tata kelola (RAT koperasi sebagai pemegang keputusan, MoU dengan pemerintah desa, dan kontrak usaha dengan BUM Desa). Semua jelas, semua akuntabel.
- Di Kelurahan: Ciptakan Forum Kemitraan warga seperti LPMK, Karang Taruna, PKK, yang menghubungkan koperasi dengan program APBD dan CSR tanpa menyeret lurah atau ASN ke struktur pengurus.
- Untuk Keduanya: Terapkan digital ledger untuk transaksi, integrasikan ke marketplace online, dan buat risk matrix agar koperasi tidak terseret siklus politik atau konflik kepentingan.
Menutup dengan Harapan
Saya percaya, Koperasi Merah Putih, baik di desa maupun di kelurahan, adalah jembatan menuju ekonomi rakyat yang mandiri. Bedanya hanya di jalannya: di desa ia berlari di bawah bendera otonomi, di kelurahan ia menari di panggung kota yang penuh program dan kolaborasi. Tugas kita adalah memastikan satu hal: koperasi tidak kehilangan jiwanya.
Karena di tengah semua peraturan, anggaran, dan teknologi, koperasi tetaplah rumah besar ekonomi gotong royong. Rumah yang hanya akan hidup jika warganya merasa memiliki, mengelola, dan menikmati hasilnya bersama.
Dan di situlah Merah Putih kita berkibar.