KETIKA EMAS MENJADI JERAT: Suluk Menuju Hakekat Desa​

ByCahyadi Joko Sukmono

13 November 2025

Suluk Desa #9

Kita berdiri di persimpangan jalan desa yang tetiba menjadi sunyi. Kabar tentang program “Desa Emas” dan upaya peningkatan omset produk lokal telah sampai ke telinga. Kata-kata itu berdentang nyaring, menjanjikan kemakmuran, menaburkan aroma ambisi.

Namun, sebagai anak bangsa yang memegang teguh integritas, kita wajib menatap lurus ke dalam janji itu. Jangan-jangan yang kita lihat bukan emas, melainkan jerat. Jerat yang ditenun oleh logika pasar dan ambisi statistik pembangunan. Kita harus bertanya: Apakah Emas ini datang dari ruh desa, atau dari nafsu yang ingin melihat desa hanya sebagai unit produksi semata?

Inilah saatnya kita kembali melakukan suluk (perjalanan spiritual) ke dalam diri desa, sebelum ia kehilangan suaranya, sebelum hakekatnya dibeli oleh angka.

MEREKA MEMBUTUHKAN KOMODITAS, KITA MEMBUTUHKAN HAKEKAT

Bagi mata kekuasaan yang pragmatis, desa adalah potensi ekonomi yang belum dieksploitasi. Maka, lahirlah label-label cantik yang memaksa desa untuk bersolek, menjadi Desa Emas, Desa Wisata, Desa Digital, Desa Anti Korupsi, Desa Pancasila. Desa diubah statusnya dari subjek komunitas menjadi objek komoditas.

Tindakan ini adalah pengkhianatan terhadap kemandirian. Ketika desa tidak lagi bertani untuk hidup, melainkan bertani untuk pasar ekspor, ia telah kehilangan integritasnya. Kebijakan yang menjauhkan desa dari pangan subsisten menuju komersialisasi adalah bisa menjadi pengabaian terhadap qudratnya (kekuatan aslinya) untuk berdaulat atas tanah dan waktu.
​Kita tidak butuh label Emas yang rentan ambruk oleh fluktuasi harga global. Kita butuh Ruh Gotong Royong yang tak ternilai harganya. Kita perlu kembali menjadikan desa sebagai ruang komunal, bukan sekadar unit ekonomi.

KESEJAHTERAAN: KETENANGAN BUKAN KEKAYAAN

Kita harus menertawakan definisi kesejahteraan yang disodorkan oleh birokrasi. Kesejahteraan sejati, dalam kearifan batin, bukanlah kekayaan (harta yang berlimpah) melainkan kecukupan (qana’ah), yang menghasilkan Ketenangan Batin.

Ketika program pembangunan hanya menekankan pada peningkatan omset sebagai tolok ukur sukses, maka yang tumbuh adalah keserakahan kolektif yang dilegalkan. Kita didorong untuk berkompetisi, meninggalkan filosofi Manunggaling Kawula Gusti (penyatuan komunitas) demi Manunggaling Kawula Kapitalis (penyatuan individu dengan keuntungan).

Jika program Desa Emas hanya menghasilkan segelintir orang kaya di desa, sementara mayoritas warganya terasing dari tanah mereka sendiri karena tuntutan efisiensi, maka itu adalah kezaliman berbalut pembangunan. Emas yang kita cari bukanlah yang dinilai dari omset, tetapi dari ketiadaan rasa takut dan kuatnya solidaritas di antara warga.


​EROSI SPIRITUAL: KETIKA HATI DIPERDAGANGKAN

Di balik gemerlap “Desa Emas”, tersembunyi virus paling mematikan: Narsisme Ekonomi.
​Ketika UMKM didorong untuk sukses sendirian, ketika setiap individu di desa hanya memikirkan keuntungannya sendiri, maka jaringan spiritual desa yang dinamakan ukhuwah (persaudaraan) itu runtuh.

Inilah tragedi spiritualitas: Kita menggunakan Dana Desa untuk membangun fisik, tetapi kita meruntuhkan nilai-nilai yang jauh lebih penting. Kita menukar persaudaraan dengan persaingan; kita menukar saling bantu dengan saling sikut.
​Kebijakan yang mendewakan profit hanya akan melahirkan homo economicus (manusia ekonomi) di pedesaan, bukan homo sociologicus (manusia sosial) yang berempati. Jika kita ingin Emas itu berkah, maka ia harus diolah dalam bingkai Koperasi yang Berhati Nurani, dimana keuntungan sekecil apapun wajib kembali untuk memperkuat martabat bersama, bukan memupuk kekayaan pribadi.

​PENUTUP: KLAIM KEMBALI HAKEKAT

Kita perlu mengakhiri Suluk ini dengan tekad seorang ksatria.
​Hentikan puja-puji pada omset dan ekspor. Kembalikan Hakekat Desa pada tempatnya: sebagai sumber kearifan, ketenangan, dan persaudaraan.
​Jika pembangunan hanya mampu mendatangkan kekayaan, tetapi tidak mampu menghadirkan kedamaian jiwa dan solidaritas sosial, maka kita wajib menolaknya.
​Kembalikan desa di dalam diri kita. Di sana, Emas tidak akan pernah bisa membeli jiwa.