Di banyak desa hari ini, muncul satu pertanyaan besar yang menggelisahkan para kepala desa dan pegiat ekonomi rakyat: “Apakah desa boleh menyertakan modal ke koperasi?” Pertanyaan ini bukan sekadar administratif, melainkan menyentuh jantung perdebatan antara legalitas, tanggung jawab pembangunan ekonomi, dan kedaulatan warga.

Kasus Desa Karangdukuh di Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah menjadi contoh menarik. Kepala desanya berani melampaui praktik umum dengan membentuk Koperasi Desa Merah Putih, koperasi berbasis warga yang bertujuan mengelola potensi desa secara kolektif—dari hasil tani, keuangan mikro, hingga usaha jasa logistik pertanian. Bukan BUMDes, melainkan koperasi yang sah secara hukum, dimiliki dan dikelola langsung oleh warga.

Masalah muncul ketika pemerintah desa ingin menyertakan modal dari APBDes ke koperasi tersebut. Para pengkritik menyatakan: “Itu melanggar aturan! Desa hanya boleh setor modal ke BUMDes!” Namun apakah itu benar?

Secara hukum, rujukan utama adalah Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, khususnya Pasal 24. Di sana disebut bahwa belanja desa dapat digunakan untuk penyertaan modal kepada BUMDes dan/atau badan hukum milik masyarakat desa. Di sinilah ruang interpretasi terbuka: koperasi, jika memang didirikan oleh warga desa dan dimiliki bersama, dapat dikualifikasikan sebagai badan hukum milik masyarakat desa.

Lebih lanjut, Pasal 90 UU Desa No. 6 Tahun 2014 memberikan dasar bahwa desa berwenang mengembangkan kerja sama usaha ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan koperasi dapat menerima penyertaan modal dari badan hukum lain, dengan syarat tidak mengubah karakter koperasi sebagai lembaga demokratis dan gotong royong.

Namun polemik ini tidak boleh hanya berhenti pada tafsir hitam-putih. Kita perlu menyuguhkan jalan tengah yang berbasis hukum dan logika pembangunan desa yang sehat. Dan jalan tengah itu dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Koperasi Desa Merah Putih memenuhi syarat sebagai badan hukum sah yang didirikan oleh warga masyarakat desa. Akta notaris, pengesahan Kemenkumham, serta struktur kepengurusan yang demokratis menjadi bukti validitasnya.

2. Desa dapat menganggap koperasi sebagai “badan hukum milik masyarakat desa” sebagaimana diatur dalam Permendagri 20/2018 Pasal 24, sepanjang koperasi tersebut memang berbasis keanggotaan warga desa dan beroperasi untuk kepentingan ekonomi desa.

3. Penyertaan modal dapat dibenarkan secara hukum jika:

Polemik ini justru menjadi bukti bahwa hukum perlu bersanding dengan inovasi sosial. Ketika realitas di lapangan menuntut solusi yang melampaui pola lama, maka para pemimpin desa harus berani mengambil langkah dengan penuh pertanggungjawaban.

Dalam konteks hukum perkoperasian, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan secara tegas bahwa koperasi merupakan badan hukum yang didirikan oleh orang-perorangan atau badan hukum koperasi yang berlandaskan prinsip-prinsip koperasi dan asas kekeluargaan. Di dalamnya terkandung semangat gotong royong dan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama ekonomi kerakyatan.

Pasal 17 UU 25/1992 menyatakan:

“Modal koperasi dapat berasal dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, dan modal penyertaan.”

Artinya, penyertaan modal adalah bentuk sah dari pendanaan koperasi. Tidak ada larangan eksplisit bahwa penyertaan modal harus semata-mata berasal dari anggota perorangan. Dalam praktiknya, banyak koperasi menerima penyertaan modal dari pihak ketiga, sepanjang dijaga prinsip independensi, akuntabilitas, dan transparansi.

Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM membuka ruang lebih luas bagi pelibatan pemerintah daerah dan desa dalam pemberdayaan koperasi. Pasal 17 PP 7/2021 menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat:

“memberikan dukungan fasilitasi berupa pembiayaan, akses pasar, teknologi, dan pendampingan kelembagaan.”

Ini menegaskan bahwa penyertaan modal oleh Desa—dalam kerangka fasilitasi dan pemberdayaan masyarakat desa—bukanlah pelanggaran, melainkan bentuk konkret dari pelaksanaan tanggung jawab negara untuk memberdayakan ekonomi kolektif di tingkat akar rumput.

Koperasi bukan sekadar badan usaha. Ia adalah ekspresi gotong royong dan jalan pulang bagi ekonomi rakyat. Jika desa diberi ruang untuk menyertakan modal secara sah dan terukur, maka kita sedang membuka gerbang baru menuju kedaulatan ekonomi berbasis warga. Dan dari situlah, mimpi Indonesia yang berdaulat dari desa bisa mulai diwujudkan.

Jumlah Pembaca 601