Suluk Desa #5

“Ada jalan yang tak ditemukan oleh pencarian daring,
karena ia hanya bisa dilalui dengan hati yang ikhlas.”
Aku sering tersesat, bukan di jalan, tapi di dalam pikiran sendiri.
Setiap kali layar ponsel menunjukkan arah, aku justru kehilangan tujuan.
Karena semakin banyak peta yang kubuka, semakin jauh aku dari rasa tenang.
Dunia hari ini terlalu ramai memberi petunjuk,
tapi terlalu sepi mengajarkan makna.
Kita tahu semua rute tercepat menuju kantor,
tapi lupa jalan pulang menuju kedamaian.
Tentang Pulang yang Tak Terlihat di Peta
Dulu, orang-orang tidak perlu aplikasi untuk menemukan jalan pulang.
Mereka cukup mengikuti suara adzan, atau cahaya pelita di beranda rumah.
Kini, pelita telah digantikan oleh notifikasi,
dan panggilan Tuhan terkadang tenggelam oleh nada dering.
Pulang bukan soal lokasi,
tapi tentang kembali pada niat semula.
Kembali menjadi manusia yang jujur, sederhana, dan tahu cukup.
Ada orang yang setiap hari berpindah kota,
tapi sebenarnya tak pernah berpindah dari keserakahan yang sama.
Dan ada pula yang diam di satu desa kecil,
tapi hatinya sudah sampai pada Tuhan.
Tentang Jalan yang Tak Diiklankan
Pernah aku diajak ke pertemuan besar,
membahas strategi pembangunan, proyek, investasi, dan kata-kata hebat lainnya.
Tapi di tengah semua itu, aku merasa seperti anak kecil
yang berdiri di simpang jalan tanpa tahu arah mana yang benar.
Semua orang tampak yakin dengan peta masing-masing.
Semua bicara tentang target, angka, dan grafik.
Tapi tak seorang pun bertanya,
“Apakah jalan ini benar-benar membawa kita pulang?”
Dan di situlah aku sadar:
ada jalan yang tak pernah dimasukkan ke Google Maps,
karena jalan itu bukan menuju tempat,
melainkan menuju makna.
Tentang Desa Sebagai Kompas Jiwa
Di satu sore di pedesaan, aku melihat seorang kakek menuntun cucunya pulang dari sawah.
Langkahnya pelan, tapi pasti.
Tidak ada peta, tidak ada sinyal, tidak ada notifikasi, hanya keakraban antara tanah dan kaki.
Itu bukan sekadar perjalanan,
itu pengingat tentang keseimbangan hidup.
Mungkin memang hanya di desa orang masih tahu arah pulang,
karena mereka tidak berjalan untuk mencari cepat,
tapi untuk menemukan arti.
Dan mungkin karena itulah, setiap kali aku lelah dengan kebisingan kota,
aku selalu ingin kembali ke sana, ke tempat di mana waktu berjalan pelan,
dan hidup masih punya rasa.
Tentang Kepemimpinan yang Menunjukkan Arah
Aku sering berpikir, tugas pemimpin bukan hanya memberi peta,
tapi menuntun arah hati manusia.
Karena tidak semua jalan lurus berarti benar,
dan tidak semua belokan berarti sesat.
Pemimpin sejati tahu kapan harus berjalan,
dan kapan harus berhenti agar rakyatnya sempat menghela napas.
Mereka tidak sibuk menunjukkan arah demi kekuasaan,
tapi memastikan semua orang sampai dengan selamat lahir dan batin.
Dan mungkin itulah arti sebenarnya dari “negara yang hadir sampai ke pelosok”:
bukan karena sinyalnya kuat,
tapi karena kasihnya sampai.
Penutup
Kini aku tahu, jalan pulang itu tidak selalu terlihat di peta.
Kadang ia berupa kesabaran.
Kadang ia berupa istighfar.
Kadang ia hanya berupa langkah kecil untuk kembali menjadi manusia yang mau belajar bersyukur.
Dan di setiap perjalanan yang membuatku letih,
aku selalu teringat kalimat ini:
“Tuhan tidak butuh kita tiba cepat,
Ia hanya ingin kita tak lupa arah.”
Catatan:
Ditulis di perjalanan pulang dari sebuah rapat pembangunan, ketika GPS menunjukkan “recalculating route”, tapi hati justru menemukan tenangnya.
Untuk semua yang sedang mencari arah,
semoga kita tak sekadar menemukan jalan,
tapi menemukan makna pulang.