DILEMA SENTRA PANGAN: Melimpah Tapi Tak Kuasa Atas Harga

BySyawqi Muhammad

20 October 2025

MALANG | NARASIDESA.COM – Panen raya cabai rawit di Desa Sumber Rejo berlangsung meriah. Gunungan cabai merah menyala memenuhi pelataran Balai Desa, seharusnya menjadi lambak kemakmuran. Namun, di balik gemerlap warna merah itu, tersimpan kepahitan yang hanya dirasakan di kantong para petani.

“Hasilnya memang melimpah, Bapak-Ibu. Tapi hari ini, harga di tingkat kami cuma Rp 18.000 per kilo. Turun separuh dari minggu lalu,” seru Sutrisno, Ketua Kelompok Tani Sumber Makmur, suaranya parau menyampaikan berita getir itu kepada puluhan petani yang berkumpul. Raut wajah muram dan geleng-geleng kepala menjadi jawaban. Padahal, di pasar tradisional kota, cabai rawit masih dibanderol Rp 45.000 – Rp 50.000 per kilo.

Fenomena Sumber Rejo adalah potret klasik yang terus berulang: desa sentra pangan yang kaya raya hasil bumi, tapi miskin kuasa atas harga.

Jerat Mata Rantai yang Tak Terputus

Ditingkah terik matahari, para petani dengan sigap memilah hasil panen. Namun, ada satu sosok yang tak henti-hentinya menghitung dengan kalkulator kecil, wajahnya berkerut. Dia adalah Bandi, seorang tengkulak sekaligus pengepul yang sudah puluhan tahun menjadi ‘nadi’ distribusi hasil tani Sumber Rejo.

“Ya begini, Mas. Saya juga harus bayar tunai ke petani, ongkos kirim mahal, ada biaya ‘ini-itu’ di jalan. Kalau nanti cabai sampai layu di pasar, rugi saya yang tanggung,” ujar Bandi, membela diri dengan logika pasar yang sudah mendarah daging.

Logika itu yang coba dibongkar oleh BUMDes Sumber Rejo. Didorong oleh instruksi terbaru Kementerian Desa PDTT tentang penguatan keuangan dan logistik BUMDes, mereka mencoba masuk.

“Kami sudah hitung-hitungan. Dengan sistem kolektif, kita bisa kirim langsung ke pasar induk atau corong modern, potong mata rantai. Biaya logistik bisa ditekan 15-20%. Selisihnya bisa kembali ke petani,” papar Ahmad Fauzi, Direktur BUMDes Sumber Rejo, penuh semangat.

Namun, niat itu terbentur tembok kokoh. “Kendala terbesar kami adalah modal kerja dan jaringan. Bandi itu punya truk, punya uang cash, dan punya relasi di pasar induk yang dibangun puluhan tahun. Kami, BUMDes, baru merangkak,” tambah Fauzi dengan jujur.

Data Kementerian yang Bicara: Kuasa Pasar di Tangan Segelintir Orang

Data terbaru dari Kementerian Desa PDTT yang diakses NarasiDesa.com menyebutkan, dari 4.212 BUMDes yang bergerak di sektor perdagangan hasil tani, hanya sekitar 18% yang telah berhasil mengintervensi rantai pasir secara signifikan dan menstabilkan harga di tingkat petani.

“Masalahnya kompleks. Bukan hanya soal tengkulak. Ini juga soal infrastruktur logistik yang mahal, fluktuasi harga yang tak terprediksi, dan yang utama, kuasa pasar masih terkonsentrasi di tangan segelintir pelaku besar,” jelas Dr. Agus Salim, Analis Kebijakan Pangan Kementerian Desa PDTT, dalam sebuah wawancara eksklusif.

“Peran BUMDes dan Koperasi Desa seharusnya menjadi countervailing power, kekuatan penyeimbang. Tapi untuk sampai situ, mereka butuh pendampingan intensif, akses permodalan, dan yang terpenting, dukungan politik ekonomi dari pemerintah daerah,” tegas Agus.

Harapan di Ujung Jari: Digitalisasi yang Masih Tertatih

Sebagian petani muda di Sumber Rejo mencoba melawan dengan digital. Mereka menjual cabai secara online melalui platform e-commerce. Tapi, ceritanya tak semudah itu.

“Pesanan dari kota memang ada. Tapi untuk satu kilo ke Jakarta, ongkos kirimnya saja bisa Rp 20.000. Belum lagi risiko barang rusak. Skalanya belum bisa menyaingi volume yang diserap Bandi dan kawan-kawan,” keluh Rina, salah satu pemuda desa yang mempelopori penjualan online.

Solusinya, menurut Rina, adalah kolektivitas. “Harus ada sistem drop point dan konsolidasi produk antar BUMDes di kecamatan atau kabupaten. Barang dikumpulkan, baru dikirim. Biaya logistik bisa ditekan.

“Inilah dilema abadi yang membutuhkan solusi tidak sekadar tambal sulam. Di satu sisi, desa adalah penopang pangan nasional dengan hasil yang melimpah. Di sisi lain, ia terpenjara dalam sistem yang membuatnya tak berdaulat atas harga.

Sementara para petani di Sumber Rejo kembali membungkuk di ladang, memetik hasil bumi yang tak sepenuhnya mereka nikmati. Gunungan cabai merah itu kini bukan lagi simbol kemakmuran, melainkan monumen dari sebuah paradoks: menjadi kaya di atas tanah sendiri, tapi miskin dalam kalkulasi pasar.