Desa di Dalam Diri Kita

ByCahyadi Joko Sukmono

11 September 2025

Suluk Desa #1

“Orang kota mencari desa untuk berlibur.
Tapi orang yang mengenal dirinya, menemukan desa di dalam hatinya.”


Kadang saya berpikir, mungkin yang disebut “desa” itu bukan sekadar tanah di ujung jalan, bukan sekadar sawah, bukan pula papan nama berwarna biru yang dipasang di pinggir jalan oleh pemerintah.
Mungkin “desa” itu adalah keadaan batin manusia yang masih mau belajar bersyukur.

Desa adalah metafora jiwa: tempat yang masih mengenal batas antara cukup dan rakus, antara doa dan target, antara rezeki dan ambisi.

Kita sering merasa jauh dari desa karena kita sibuk mengejar kota — padahal yang kita cari bukan gedung tinggi, tapi ketenangan yang dulu kita tinggalkan di ladang-ladang kecil dalam diri.

Desa Sebagai Cermin Diri

Banyak orang membangun jalan, tapi lupa menyiapkan arah.
Banyak membangun pasar, tapi lupa menumbuhkan kejujuran.
Desa yang kita bangun di luar diri, tak akan tumbuh jika desa di dalam diri kita kering dari keikhlasan.

Maka, ketika saya melihat kepala desa yang sibuk membuat laporan, pendamping yang sibuk membuat proposal, dan pejabat yang sibuk membuat pernyataan — saya sering ingin berbisik pelan:

“Desa itu bukan angka di laporan, tapi rasa yang hidup di dada warganya.”

Kalau hati kita sempit, maka pembangunan selebar apapun hanya akan jadi pameran batu bata.
Tapi kalau hati kita luas, maka bahkan gubuk bisa jadi madrasah jiwa.

Kembali ke Rasa, Kembali ke Asal

Orang Jawa dulu bilang, “Sapa ngerti asale banyu, bakal ngerti pange ing langit.”
Barang siapa mengerti asal air, dia akan tahu dari mana datangnya hujan.

Begitu juga desa.
Barang siapa mengenal desanya, dia akan mengenal bangsanya.
Barang siapa mengenal bangsanya, dia akan mengenal Tuhannya.

Desa bukan “entitas ekonomi” saja. Ia adalah tanda keberlanjutan peradaban.
Tempat di mana doa masih punya nama, dan gotong royong masih punya suara.

Suluk di Tengah Sawah Pikiran

Kita sedang hidup di zaman yang aneh:
semua hal bisa diketik, tapi jarang direnungkan;
bisa dibangun cepat, tapi jarang dipelihara lama;
bisa viral, tapi tak selalu bernilai.

Maka saya menulis “Suluk Desa” bukan untuk mengajar, tapi untuk menemani perjalanan bersama.
Menulis bukan karena merasa paling tahu, tapi karena takut lupa.

Saya percaya, kalau tiap orang mau menanam satu benih kebaikan dalam dirinya, maka akan tumbuh satu desa baru dalam jagat manusia: desa kejujuran, desa kasih sayang, desa iman.

Penutup: Doa yang Tidak Diuangkan

Malam ini, mari kita diam sejenak.
Biarkan suara jangkrik jadi dzikir, dan cahaya bulan jadi kitab.

Mari belajar kembali menjadi manusia yang tahu cara menunduk.
Sebab yang terlalu sering menengadah pada ambisi, bisa lupa memandang tanah tempat ia berpijak.

Sebab sejatinya Desa tidak pernah hilang.
Desa hanya menunggu kita kembali menjadi manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *