Jembrana, Bali — Di tengah hamparan kebun kakao yang menghitam manis oleh fermentasi, riuh rendah antusiasme pecah ketika ratusan petani menyaksikan langsung pelepasan kontainer ekspor ke Prancis. Momen itu — bagian dari peluncuran Program Desa BISA (Berani Inovasi, Siap Adaptasi) Ekspor pada 9 September 2025 — menjadi simbol transformasi: desa bukan lagi sekadar lumbung pangan nasional, tetapi pemain baru di arena perdagangan global.
Program Desa BISA Ekspor adalah konsolidasi besar lima program terdahulu: UMKM BISA Ekspor dari Kementerian Perdagangan, Desa Ekspor dari Kemendes PDTT, Desa Organik dari Kementan, Desa Devisa dari LPEI/Eximbank, serta Desa Sejahtera Astra. Integrasi ini melahirkan skema pendampingan berlapis yang mencakup produksi, pembiayaan, logistik, pemasaran, dan tata kelola desa — sebuah ekosistem lengkap untuk memperkuat daya saing ekspor desa.
Regulasi, Kriteria, dan Mekanisme Program
Secara regulatif, program ini diperkuat oleh Perjanjian Kerja Sama (PKS) lintas kementerian dan lembaga: Kemendag, Kemendes PDTT, Kementan, dan LPEI. PKS ini mengatur pembagian peran — mulai dari pemetaan potensi, pengembangan komoditas unggulan, fasilitasi pembiayaan, hingga percepatan ekspor melalui business matching dan dukungan perwakilan perdagangan Indonesia di luar negeri. Kemendag secara khusus menyiapkan jalur percepatan bagi UMKM desa dengan menghadirkan business matching rutin antara pelaku usaha desa dan pembeli internasional.
Di atas fondasi regulasi ini, desa-desa kemudian dipetakan dalam dua klaster besar berdasarkan tingkat kesiapan ekspor. Hingga September 2025, terdapat 2.357 desa yang telah dipetakan:
- Klaster 1: 741 desa yang dinilai siap mengekspor dalam waktu dekat.
- Klaster 2: 1.616 desa yang masih perlu pendampingan intensif, terutama terkait manajemen, standardisasi mutu, dan ketersambungan rantai pasok.
Kriteria desa siap ekspor mencakup beberapa indikator utama:
- Kapasitas produksi yang mampu memenuhi permintaan buyer secara konsisten.
- Standardisasi mutu, termasuk sertifikasi organik, GAP, HACCP, atau standar negara tujuan ekspor.
- Manajemen kelembagaan desa seperti BUMDes atau koperasi yang profesional dan transparan.
- Akses logistik dan pembiayaan, termasuk hubungan dengan agregator atau eksportir.
- Potensi pasar, baik melalui buyer existing maupun peluang pasar baru yang dipetakan pemerintah.
Untuk mendukung implementasi, LPEI memperkenalkan Dashboard Desa BISA Ekspor, sebuah sistem digital yang menampilkan data komoditas desa secara real time. Dashboard ini menjadi kanal transparansi sekaligus katalog bagi pembeli global.
Selain itu, program ini memakai identitas visual baru dengan filosofi mendalam: TUNESA (tunas desa) sebagai simbol pertumbuhan, dan ANYASA (anyaman desa) sebagai lambang gotong royong dan jejaring desa ke dunia global.
Implementasi, Dampak, dan Tantangan ke Depan
Jembrana menjadi laboratorium paling jelas dari implementasi program ini. Berbasis pada keberhasilan Desa Devisa Kakao, program ini membina 13 desa dengan total 609 petani, di mana 14 persen adalah perempuan. Mereka memproduksi kakao fermentasi berkualitas tinggi yang telah menembus pasar Eropa dan Asia — mulai dari Prancis, Jerman, Belanda, Jepang, hingga Australia.
Pada peluncuran program Desa BISA Ekspor, dilakukan ekspor simbolis kakao fermentasi senilai Rp 2,4 miliar menuju Prancis. Ekspor ini menunjukkan bahwa dengan intervensi tepat, desa dapat menghasilkan produk berkualitas premium yang dihargai pasar dunia.
Namun tidak semua desa bergerak dengan kecepatan yang sama. Banyak desa di Klaster 2 masih bergulat dengan persoalan lama: kurangnya fasilitas pascapanen, akses pembiayaan yang terbatas, biaya logistik tinggi, serta keterampilan manajemen yang belum memadai. Tantangan-tantangan ini bukan hanya teknis, tetapi juga struktural.
LPEI menekankan bahwa pembentukan desa ekspor tidak boleh berhenti pada penciptaan eksportir baru semata. Keberlanjutan adalah kunci: desa harus mampu menjaga mutu, memperluas pasar, dan membangun manajemen usaha yang tahan terhadap fluktuasi harga global.
Di lapangan, tantangan lain muncul dari ketimpangan akses informasi dan teknologi. Desa yang sudah dekat kota relatif cepat beradaptasi, sementara desa terpencil masih menghadapi hambatan infrastruktur. Meskipun demikian, integrasi sektor swasta — seperti Astra dan perusahaan agregator lain — membawa harapan baru bagi percepatan pembangunan rantai pasok.
Dari sisi sosial ekonomi, dampak program ini mulai terasa. Pendapatan petani meningkat, perempuan desa semakin terlibat dalam rantai nilai ekspor, dan BUMDes yang sebelumnya stagnan kini masuk ke level bisnis lintas negara. Di sisi lain, kompetisi pasar global menuntut kualitas tanpa kompromi. Kegagalan menjaga standar dapat membuat desa kehilangan kontrak ekspor yang telah diperjuangkan dengan susah payah.
Pemerintah menargetkan agar Desa BISA Ekspor tidak hanya menjadi program pembangunan ekonomi, tetapi model baru pembangunan desa: mandiri, berdaya saing, dan terkoneksi dengan pasar dunia. Bagi banyak desa, ini adalah lompatan sejarah — dari ekonomi subsisten menjadi bagian dari rantai nilai global.
Pada akhirnya, Desa BISA Ekspor adalah cermin dari asa besar: menghadirkan keadilan ekonomi melalui pemberdayaan desa. Jalan menuju ekspor mungkin terjal, tetapi di banyak titik, desa-desa telah membuktikan bahwa mereka mampu tumbuh, berinovasi, dan bersaing. Dari tanah desa yang subur, lahirlah kemungkinan baru — dan mungkin, masa depan perekonomian Indonesia.
