Cupu Kyai Panjala 2025: Ketika Simbol Bicara dan Warga Menjaga Denyut Tradisi

Bynch

30 September 2025

GUNUNGKIDUL | NARASIDESA.COM—Ritual pembukaan Cupu Kyai Panjala kembali mengikat perhatian Nusantara. Senin malam, 29 September 2025 hingga dini hari 30 September, halaman rumah juru kunci Ki Medi Suminarno padat oleh ribuan peziarah budaya. Tiga cupu yang dibungkus kain kafan—dibuka setelah kenduri dua tahap—memunculkan deretan simbol yang segera menjadi bahan tafsir publik: dari ayam jantan, bintang, kepala manusia, hingga kayon berdiri. Prosesi dimulai sekitar pukul 23.00 WIB dan berakhir menjelang fajar, menjaga pakem adat yang diwariskan turun-temurun.

Data lapangan menunjukkan setidaknya tiga puluh satu rupa muncul tahun ini. Di antaranya ayam jantan menghadap barat, bintang di barat, Narada di kidul kulon, kambing menghadap timur, kayon jejeg di utara, Pulau Jawa dan Sumatra, serta angka “3” yang berulang. Rangkuman simbol dipublikasikan media lokal dengan foto-foto prosesi yang beredar luas, menegaskan betapa kuatnya partisipasi warga dalam merawat ingatan bersama.

Mengapa lebih awal dari biasanya? Pemerintah kalurahan menjelaskan, tidak ada Selasa Kliwon pada Oktober—bulan yang lazim untuk pembukaan—sehingga adat dimajukan ke September agar tetap selaras dengan perhitungan pranata mangsa. Alasan sederhana, namun menyiratkan keteguhan menjaga harmoni antara waktu kosmis, musim, dan ritus.

Di sela keramaian, hadir unsur pemerintah daerah. Kehadiran pejabat publik mempertegas bahwa tradisi bukan sekadar masa lalu, melainkan aset sosial yang hidup dan layak dirawat bersama negara. Dokumentasi resmi dan siaran warganet ikut memperluas jangkauan, menjadikan simbol-simbol Cupu Panjala bahan diskusi lintas grup keluarga, komunitas, hingga forum akademik.

Ki Medi menuturkan prosesi dimulai dengan kenduri dua tahap—satu untuk laku pribadi, satu untuk kebersamaan—sebelum kain kafan pada tiga cupu dibuka berurutan. Unsur waktu, arah, dan sikap tubuh dalam prosesi ditekankan sebagai tata adat yang tidak boleh diubah, karena menjadi medium “membaca” zaman melalui gambar yang tampak di permukaan. Detail ini menjelaskan mengapa setiap arah hadap pada simbol dicatat cermat dari barat, timur, utara, hingga selatan.

Apa pesan terbesar 2025? Tradisi memberi ruang tafsir. Namun rangkaian tanda—Alif, rukuk ke kiblat, Semar menghadap utara, Petruk ke barat, anak menunggang hewan, serta hadirnya Pulau Jawa dan Sumatra—mengantar tiga catatan redaksi. Pertama, pulang ke sumber nilai: spiritualitas yang membumi dan hormat pada Yang Esa. Kedua, akal budi sebagai nahkoda: humor sebagai kritik, petuah sebagai kompas, dan pamomong sebagai pagar agar kuasa tak liar. Ketiga, estafet generasi: keterlibatan perempuan dan anak menjadi indikator masa depan yang lebih inklusif.

Cupu Panjala bukan orakel yang memaksa. Ia cermin. Ayam jantan yang berkokok ke barat bisa dibaca sebagai peringatan agar kita bangun lebih pagi; tikus, babi, dan gurem sebagai alarm sosial terhadap kerakusan; bintang di barat sebagai arah harapan; kayon jejeg sebagai kompas keseimbangan. Di Jawa—dan Sumatra—arus tanda ini menyatu dengan denyut ekonomi, politik, dan alam; tafsir pun beresonansi pada kebijakan, gotong royong, dan kesiapsiagaan bencana.

NarasiDesa percaya, kebudayaan hidup ketika warga terlibat. Tahun ini, Cupu Panjala berbicara lewat simbol; tugas kita menjawab lewat kerja: menjaga alam karst, menguatkan koperasi desa, memberantas “tikus”, menumbuhkan literasi bencana, serta menyalakan kembali bintang di benak generasi muda. Tradisi bukan pelarian; ia peta jalan—agar esok tidak datang sebagai kebetulan, melainkan buah ikhtiar bersama. Mari berjalan bersama, setia pada akar budaya.