Dalam sejarah ekonomi kerakyatan, koperasi selalu menjadi instrumen perjuangan rakyat untuk mandiri, adil, dan berdaulat dalam mengelola potensi ekonomi bersama. Koperasi bukan hanya badan usaha, melainkan simbol perlawanan terhadap dominasi ekonomi kapitalistik dan praktik ekonomi yang eksploitatif. Namun dalam konteks kebijakan negara hari ini, pertanyaan krusial muncul: apakah koperasi desa masih berada dalam jalur gerakan ekonomi rakyat, ataukah telah bertransformasi menjadi instrumen kebijakan administratif semata?
Inpres Nomor 9 Tahun 2025 tentang Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes MP) memang memiliki semangat afirmatif. Target pembentukan 80.000 koperasi desa terdengar revolusioner, tetapi sekaligus menyimpan potensi problem mendasar. Logika angka dalam kebijakan ini sangat mungkin melahirkan koperasi yang “ada di atas kertas” tetapi tidak memiliki jiwa koperasi yang sesungguhnya, karena pembentukan koperasi tidak boleh berdasar perintah negara, melainkan atas kehendak sukarela dari warga masyarakat yang memiliki kebutuhan bersama.
Kekeliruan mendasar lain terlihat dari proses pendirian koperasi yang bertumpu pada Musyawarah Desa (Musdes). Secara hukum dan filosofi, Musdes adalah ruang politik komunitas untuk mengambil keputusan tentang pemerintahan dan pembangunan desa, bukan forum sah pendirian koperasi. Koperasi adalah organisasi ekonomi yang tunduk pada UU Perkoperasian, di mana proses legalitas dan legitimasi hanya sah jika dilakukan dalam forum Rapat Anggota yang demokratis. Pemisahan peran ini penting untuk menjaga koperasi tetap independen dan berorientasi pada kepentingan anggotanya, bukan menjadi alat dari struktur kekuasaan desa.
Ketentuan lain yang juga problematik adalah pengangkatan Kepala Desa sebagai Ketua Pengawas ex-officio koperasi. Secara prinsip, hal ini bertentangan dengan prinsip keempat koperasi: Otonomi dan Kemandirian. Koperasi tidak boleh berada di bawah pengaruh struktural pejabat publik, karena akan menimbulkan benturan kepentingan antara pengelolaan dana publik, otoritas desa, dan pengelolaan usaha koperasi. Kehadiran pemerintah seharusnya bersifat mendampingi dan melindungi, bukan menjadi bagian struktural dalam manajemen koperasi.
Namun semua ini bukan berarti program Kopdes MP harus ditolak. Justru kritik ini bertujuan untuk memperbaiki dan menyempurnakan agar koperasi desa bisa benar-benar menjadi alat ekonomi rakyat yang sehat dan lestari. Solusinya sederhana: koperasi harus lahir dari rapat anggota, kepala desa cukup sebagai fasilitator, dan koperasi harus diberi ruang penuh untuk menentukan arah pengembangan usahanya sendiri. Negara cukup berperan sebagai pendamping, pelindung hukum, dan akselerator, bukan pengendali.
Untuk lebih mempertegas pemisahan fungsi antara Musdes dan forum Rapat Anggota, perlu disusun mekanisme sebagai berikut:
- Musyawarah Desa (Musdes) tidak menjadi forum pengesahan koperasi, melainkan forum pengambilan keputusan kebijakan desa atas rencana pendirian koperasi.
- Musdes menghasilkan minimal:
- Keputusan mendirikan Kopdes Merah Putih dengan nama resmi koperasi
- Penetapan pemanfaatan dan ketentuan aset desa yang dapat dikelola oleh koperasi (sesuai regulasi pengelolaan aset desa).
- Pembentukan Komite Persiapan Rapat Anggota yang bertugas memfasilitasi persiapan pembentukan koperasi.
- Rekomendasi atas rencana unit usaha dan kemitraan strategis koperasi di desa
- Setelah Musdes, Komite Persiapan bertugas menyiapkan dan menyelenggarakan Rapat Anggota sesuai ketentuan dalam perundang-undangan perkoperasian, mulai dari:
- Pendaftaran calon anggota koperasi,
- Pembahasan anggaran dasar koperasi,
- Pemilihan pengurus dan pengawas koperasi oleh anggota
- Penetapan simpanan pokok, simpanan wajib, dan rencana kerja koperasi.
Melalui pemisahan peran ini, koperasi desa akan memiliki akar legalitas, etika, dan filosofi yang kuat sebagai organisasi ekonomi rakyat, sekaligus menjaga tata kelola pemerintahan desa dari konflik kepentingan. Dengan demikian, koperasi desa bisa tumbuh secara alami sebagai benteng kedaulatan ekonomi rakyat yang sesungguhnya, bukan sekadar administrasi program negara.
Cahyadi Joko Sukmono
Ketua Umum DPN ABDSI