Suluk Desa #3

Negara bukan di gedung-gedung tinggi,
tapi di tangan orang yang menyalakan lampu jalan agar anak-anak bisa pulang tanpa takut
Suatu malam di sebuah dusun kecil, aku melihat kepala desa duduk di teras balai sambil memegang ponsel yang layarnya retak.
Ia sedang mencatat daftar warga yang sakit, sementara angin malam membawa bau tanah basah dan suara jangkrik yang tidak pernah rapat.
Tak ada kamera, tak ada spanduk.
Hanya seorang manusia yang sedang menanggung negeri dalam sunyi.
Dan aku tersadar,
mungkin negara yang sesungguhnya tidak sedang duduk di ruang rapat berpendingin udara,
melainkan di kursi kayu reyot tempat kepala desa menandatangani surat lahir, surat tanah, dan surat takdir warganya.
Negara yang Bernapas Lewat Kepala Desa
Para kepala desa itu bukan pejabat biasa.
Mereka adalah wujud paling dekat dari wajah negara.
Mereka tidur bersama rakyat, bangun bersama rakyat,
dan sering kali meminjam uang lebih dulu agar warga bisa selamat dari krisis kecil.
Mereka tidak punya waktu untuk menjadi politisi,
karena mereka sudah menjadi pelayan,
pelayan kehidupan yang sesungguhnya.
Tapi betapa sering mereka dibiarkan berjalan sendiri,
di tengah sistem yang terlalu jauh untuk mendengar napas desa.
Tentang Kepemimpinan yang Menghidupkan
Ada dua macam pemimpin:
yang pertama ingin dikenang karena proyeknya,
yang kedua dikenang karena dampaknya.
Yang pertama membangun bangunan,
yang kedua membangun manusia.
Dan negeri ini, Pak,
terlalu lama terpesona pada yang pertama.
Padahal, kepemimpinan sejati adalah yang menyalakan kehidupan.
Bukan sekadar menandatangani program,
tapi menumbuhkan martabat dan kebahagiaan.
“Pemimpin yang baik tidak meninggalkan jejak di batu,
tapi meninggalkan perubahan di hati manusia.”
Desa, Tempat Negara Diuji
Desa bukan halaman belakang negeri.
Desa adalah serambi rumah Indonesia.
Dari sanalah bangsa ini belajar sopan santun, belajar mencintai tanah, dan belajar menatap masa depan dengan harapan.
Kalau negara ingin tahu seberapa sehat jiwanya,
lihatlah wajah warganya di desa:
apakah mereka masih tersenyum ketika hujan datang?
apakah anak-anaknya masih berani bermimpi tanpa takut biaya sekolah?
apakah petaninya masih bisa menanam tanpa berhutang?
Jika jawabannya “tidak,”
maka pembangunan itu belum selesai —
karena belum menyentuh manusia.
Kepemimpinan Berbasis Dampak
Kini aku mulai percaya,
bahwa ukuran kepemimpinan bukanlah panjangnya masa jabatan,
tapi dalamnya bekas kebaikan.
Pemimpin sejati adalah mereka yang setiap harinya berani bertanya:
“Hari ini, siapa yang hidupnya sedikit lebih baik karena aku?”
Mereka yang tak menunggu arahan dari atas,
karena tahu arah sejati datang dari hati.
Mereka yang sadar bahwa membangun jalan tanpa menumbuhkan manusia
adalah pekerjaan yang kehilangan ruhnya.
Dan kepada para penguasa negeri,
izinkan aku berbisik pelan:
“Hargailah mereka yang menjaga negara dari pinggir —
sebab merekalah penjaga peradaban sesungguhnya.”
Penutup
Aku menulis ini di bawah lampu temaram sebuah pendopo kecil, tempat suara kodok bersahutan dengan suara hati.
Aku tak sedang menasihati siapa pun,
aku hanya sedang mengembalikan arah doa agar kekuasaan tidak menjadi jarak, tapi menjadi jalan.
Sebab pada akhirnya,
Negara yang besar bukan yang megah di pusat,
tapi yang damai di pinggiran.
Dan di setiap kepala desa yang setia pada rakyatnya,
aku melihat seberkas cahaya Tuhan sedang bekerja dalam bentuk paling sederhana:
melayani.
Catatan:
Ditulis menjelang malam Jumat, ketika suara angin terdengar di kejauhan mengundang hujan membawa bau tanah baru.
Untuk para kepala desa, para perangkat, dan para pemimpin negeri semoga setiap keputusan menjadi ladang amal, bukan sekadar agenda.
Karena rakyat tidak hanya butuh pembangunan,
mereka butuh kebahagiaan yang dirasakan bersama.