3 JALUR PENGEMBANGAN KOPERASI HARI INI

ByTim Redaksi

28 June 2025

Koperasi bukan sekadar badan usaha; ia adalah simpul perlawanan senyap terhadap ketimpangan, manifestasi keberanian kolektif rakyat kecil yang hendak berdiri di atas kaki sendiri. Namun sejarah tak pernah berjalan lurus. Hari ini, gerakan perkoperasian Indonesia berdiri di simpang tiga besar yang mendesak kita berpikir ulang tentang makna, arah, dan masa depan.

Dr. Noer Soetrisno mengurai jalur pengembangan itu dengan tajam: jalur pertama, koperasi existing berbasis UU 25/1992; jalur kedua, koperasi simpan pinjam yang kini harus patuh penuh pada UU PPSK (UU 4/2023); dan jalur ketiga, koperasi desa/kelurahan yang diperkenalkan lewat Inpres 9/2025 sebagai “jenis keenam” dalam ekosistem koperasi nasional.

Jalur Pertama: Koperasi Existing (UU 25/1992)

UU 25/1992 adalah fondasi hukum yang menegaskan koperasi sebagai badan usaha berbadan hukum, berasaskan kekeluargaan, dan bertujuan menyejahterakan anggota. Namun seiring waktu, banyak koperasi terjebak dalam ritual formal: RAT yang sekadar menggugurkan kewajiban, laporan keuangan yang hanya untuk kelengkapan, hingga kesetiakawanan yang menipis.

Di sinilah peran UU Cipta Kerja (UU No. 11/2020) dan PP 7/2021 menjadi relevan. Kedua regulasi ini memperbarui lanskap perizinan dan pendirian koperasi agar lebih mudah dan inklusif.

PP 7/2021 (tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM) mengatur:

  • Penyederhanaan prosedur pendirian koperasi (cukup 9 orang pendiri).
  • Percepatan pengesahan akta pendirian.
  • Penyesuaian struktur organisasi lebih luwes sesuai kapasitas anggota.

Semangat deregulasi ini membuka pintu bagi koperasi kecil dan koperasi desa untuk lahir lebih cepat. Namun, di sinilah kita harus awas: kemudahan pendirian jangan sampai berujung pada lahirnya koperasi-koperasi “kosmetik” yang hanya menjadi alat formal, bukan gerakan ekonomi rakyat yang berdaulat.

Jalur Kedua: Koperasi Simpan Pinjam (UU 4/2023 / PPSK)

Melalui UU PPSK, koperasi simpan pinjam (USP) dituntut bertransformasi menjadi sistem close loop, di mana transaksi hanya antaranggota, dengan pengawasan ketat setara industri jasa keuangan formal.

Mulai 2025, koperasi USP wajib memenuhi:

  • Standar perizinan dan kepatuhan seperti perbankan (prudential regulation).
  • Sistem manajemen risiko dan perlindungan konsumen.
  • Pelaporan digital dan keterbukaan keuangan.

PP 7/2021 juga menegaskan koperasi yang bergerak di sektor jasa keuangan wajib memisahkan usaha non-keuangan, agar tidak terjadi tumpang tindih dan potensi fraud.

Artinya, jalur kedua mendorong koperasi menjadi sangat profesional dan disiplin, namun berisiko menjauh dari akar nilai solidaritas. Demokrasi ekonomi bisa bergeser ke logika korporasi.

Jalur Ketiga: Koperasi Desa/Kelurahan (Inpres 9/2025)

Inpres 9/2025 membuka jalur baru: koperasi desa atau kelurahan sebagai jenis koperasi keenam. Koperasi ini dirancang khusus untuk mengelola potensi ekonomi lokal dan memperkuat ketahanan sosial desa.

Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) adalah contoh pionir yang mencoba mewujudkan cita-cita ini. Jalur ini memperlihatkan betapa strategisnya membangun ekonomi dari pinggiran:

  • Mengurangi ketergantungan pada tengkulak.
  • Menjadi agregator usaha mikro dan petani lokal.
  • Membangun ekosistem usaha berbasis komunal, sesuai karakter budaya setempat.

Namun, KDMP juga tidak bisa beroperasi di ruang hampa. Ia harus melihat batasan sektor yang diatur dalam jalur lain (USP dan sektor riil), serta membangun governance yang solid.

Analisa Terintegrasi: Rasa dan Aturan

Kombinasi UU Cipta Kerja, PP 7/2021, UU PPSK, serta Inpres 9/2025 memberi arah baru yang simultan: deregulasi, modernisasi, dan lokalisasi.

Persamaan ketiganya:

  • Mendorong efisiensi dan profesionalitas.
  • Memperluas akses pembiayaan dan pasar.
  • Menuntut transparansi dan akuntabilitas tinggi.

Perbedaannya: (1) Jalur existing masih kental nilai kolektif, namun terancam stagnan jika tak adaptif; (2) Jalur USP menuntut logika pasar dan ketertiban modal, tetapi berpotensi memudarkan nilai kebersamaan; dan (3)
Jalur desa sangat kental nilai gotong royong, namun rawan jika governance lemah.

Persimpangan ini bukan sekadar soal hukum dan model usaha. Ini adalah momentum moral: bagaimana kita memastikan nilai demokrasi ekonomi, kemandirian, kesetiakawanan, dan keadilan sosial tetap bernafas di setiap jalur.

Kita bisa memilih menjadi koperasi yang besar dan berstandar industri, atau koperasi yang membumi di desa. Namun yang paling mendasar: koperasi harus tetap memanusiakan manusia. Bukan hanya mengejar SHU, tapi menanamkan keberanian saling menolong di musim paceklik, merawat kejujuran di musim panen, dan membangun kedaulatan ekonomi rakyat dari tapak-tapak desa.

Penutup

Di tengah jalan berliku ini, koperasi bukan sekadar alat ekonomi, tetapi gerakan jiwa. Keberhasilan bukan hanya diukur dari laba, melainkan dari seberapa banyak senyum yang lahir, seberapa mandiri sebuah desa, dan seberapa adil sebuah pasar.

Kita di persimpangan. Saatnya kita bertanya: mau sekadar punya koperasi, atau mau benar-benar menghidupkan koperasi?